Senja duduk termangu di kursi kerja milik Cakrawala. Jemari gemetarnya mengusap bagian pipi yang sudah basah sejak mata membaca tulisan di lembar paling awal.
Meneguhkan niat, Senja membuka laman berikutnya. Sebuah foto polaroid sedikit usang kembali tertempel.
Foto itu, foto diri mereka dalam balutan seragam olahraga SMA. Di bawahnya, terdapat tulisan "Awal Mula".
Pangkal hidung Senja nampak mengkerut. Masih terlalu bingung memahami kalimat yang ada. Namun Senja memilih abai dan melanjutkan bacaannya.
"Hai...apa kabar? Gimana hari ini? Pasti lagi nangis ya? Hehehe..." tulisan tangan Cakrawala berbunyi demikian. Ini baru awal, dan air mata yang coba Senja tahan akhirnya meluruh lagi.
"Nggak apa-apa, kamu boleh nangis sepuas yang kamu mau sekarang. Saya nggak akan larang.."
"Tapi besok, saya harap tangisan kamu udah berhenti dan berganti dengan tawa bahagia. Bisa kan?" seperti sebuah kebiasaan, Senja mengangguk menanggapi perkataan Cakrawala lewat tulisan tangannya.
Sudut hatinya menjerit saat tiba-tiba kata 'sia-sia' terlintas di kepala. Anggukan itu, terasa semu.
"Bagus! Itu baru Senjanya Cakrawala :D." tangis Senja mulai memberat saat matanya membaca kalimat lain yang tertulis dalam paragraf itu.
'Itu baru Senjanya Cakrawala'.
Kalimat yang selalu Cakrawala ucapkan ketika Senja berhasil atau mampu menjanjikan sesuatu. Dulu, Cakrawalanya akan mengucapkan kalimat itu dengan senyum yang terukir manis serta usapan lembut pada puncak kepala.
Tapi sekarang, Senja harus berpuas hati karena kalimat yang paling ia sukai kini tersimpan apik dalam barisan paragraf di lembaran buku.
"Kamu pasti bingung kenapa saya ngasih buku ini ke kamu kan?" anggukan kepala kembali Senja layangkan.
"Jangan bingung...anggap aja ini hadiah terakhir dari saya buat kamu. Ya sekaligus pelipur lara kalo kamu tiba-tiba kangen sama saya..."
"Pede banget nggak sih saya ngomong gitu? Padahal belum tentu'kan kamu kangen saya? Eh tapi kamu kangen nggak sih kalo saya tinggal pergi?"
Ada tarikan nafas berat di awal. "Kangen." ujar Senja lirih dengan suaranya yang serak. "Belum sehari ditinggal kamu, aku udah kangen." lanjutnya lagi dengan irama yang sama. Setelahnya mata itu kembali bergulir pada paragraf yang lain.
"Jangan kangen-kangen...kalo kamu kangen, nanti saya jadi bingung harus gimana. Mau minta izin sama Tuhan, saya nggak tau caranya gimana..."
"Ya tinggal minta izin aja apa susahnya sih? Bilang kalo kamu mau nemuin aku. Gitu." Senja bersungut.
"Nggak mungkin lah ... kamu kira izin sama Tuhan segampang izin sama Bunda?" cuitan Cakrawala menjawab perkataan Senja. Seolah-olah, apa yang Senja pikirkan sudah Cakrawala ketahui.
"Hayooo ... pasti bingung lagi kan kenapa saya bisa tau jalan pikiran kamu?" kepala Senja terangguk tanpa disadari.
Dalam tulisannya, Cakrawala tertawa. "Hahaha ... apasih yang nggak saya tau dari kamu. Ukuran bra kamu aja saya tau kok."
Senja reflek mendelik. "Heh! Mesum!"
"Jangan salahin saya dong. Salahin kamu kenapa tiap beli bra baru selalu ngajak saya. Waw..."
"Cakra!" Senja memekik sedikit nyaring. Seolah-olah laki-laki itu tengah berada tepat di hadapannya.
"Pasti lagi kesel tuuh ... pasti mau jambak-jambak rambut saya tuh ... ya kan? Haha nggak bisa yee~~"
"Huh!" dengusan kasar terhembus dari hidung mancung si perempuan mungil. Sejenak, Senja lupa tentang kesedihannya.
"Utututu ... ngambek ya? Jangan ngambek dong. Kalo ngambek nanti nggak cantik lagi..."
"Alah..."
"...pasti kamu mau bilang "gombal aja terooos" dengan nada bicara kamu yang nyebelin. Iya kan? Hahaha..."
"Itu tau!" kembali perempuan itu menggerutu.
Tangisnya sudah berhenti meski masih ada isakan kecil yang menemani. Setidaknya dengan membaca tulisan tangan Cakrawala, Senja merasa laki-laki itu berada di sini. Tepat di sebelahnya.
Meski secara fakta, Cakrawala telah tertidur nyenyak di bawah gundukan tanah yang dingin. Sendiri.
Mata lembut milik Senja, kembali fokus pada lembar buku. Manik bulat serupa biji kelengkeng itu memindai tiap baris kalimat yang tertulis apik di sana.
"Btw ... kamu tau nggak arti tulisan 'Awal Mula' yang ada di bawah poto kita?" lewat tulisannya, Cakrawala bertanya.
Kepala Senja reflek tergeleng. "Nggak tau,"
"Saya udah yakin kamu nggak bakal tau. Kamu kan, bodoh."
"Hei!"
"Hahaha ... bercanda~~(mencubit pipi) eh kerasa gak cubitan saya?"
Senja diam. Matanya perlahan mulai berkaca lagi. "Nggak." jawabnya pelan.
"Jangan dirasin secara fisik ... coba dirasain pake hati, pasti kerasa."
Kerutan halus tercetak samar di dahi Senja. Terlampau bingung untuk memahami.
"Kalo kamu bingung gimana caranya, kamu cukup pejamin mata kamu, terus diingat-ingat gimana cubitan yang sering saya kasih."
Senja memejamkan kedua mata mengikuti apa yang Cakrawala katakan. Kepalanya mencoba memanggil ingatan tentang si laki-laki pemilik senyum manis.
Lalu seperti mantra obliviate dalam cerita Harry Potter, Senja bisa merasakan sentuhan Cakrawala tepat di bagian pipi.
Air matanya menetes. Tiba-tiba rindu kembali menyapa dan sengal kembali mendera. Namun secepat kilat, mata Senja terbuka.
Perempuan itu tak ingin larut terlalu jauh. Masih ada banyak lembar yang harus ia baca setelah ini.