Lembar berikutnya Senja buka. Namun sebelum benar-benar melanjutkan, Senja lebih dulu meneguhkan hati.
Sebab membaca semuanya, sama saja dengan menggoreskan pisau pada luka yang menganga.
Sebab membaca semuanya, sama saja dengan memupuk asa agar rindu semakin jadi. Padahal kita tahu, rindu tak akan pernah usai tanpa temu.
"Huh.."
Hembus zat karbondioksida menjadi awal segala. Mata yang memejam perlahan terbuka dengan sklera putih sedikit memerah.
Entahlah, andai bisa berbicara mungkin mata akan berkata lelah. Namun sang empu masih terus ambisi untuk menyelesaikan. Apa daya selain pasrah menuruti.
Lembar itu menampilkan sebuah foto polaroid sedikit lebih baru dari yang pertama. Dimana foto kantin sekolah tercetak jelas sebagai hasilnya.
Kerutan samar kembali timbul pada dahi si perempuan mungil. Ingatannya berusaha menggali kenangan yang tertinggal.
Nihil.
Tak ada satupun yang Senja tahu. Bukan perkara lupa, namun karena terlalu banyak kenangan yang tercipta.
"Hayooo ... pasti bingung lagi kan kenapa ada foto kantin?" tulisan Cakrawala berbunyi tanya.
Senja mengangguk pada lembaran buku. "Kamu mah bingungan terus. Heran Saya."
Bibir mungilnya tergerak maju. "Ngejek!" sungutnya sedikit kesal. Lalu bola mata itu bergerak membaca tulisan Cakrawala yang lain.
"Jadi, kamu beneran nggak inget kenapa ada foto kantin sekolah?" lewat tulisan tangannya, Cakrawala kembali bertanya.
Senja diam. Mencoba sekali lagi mengingat kejadian penting yang pernah terjadi di antara mereka. Namun lagi, hasilnya sama.
"Nggak." kepala itu tergeleng.
"Coba deh diinget lagi. Pasti ada sesuatu di sana." bunyi tulisan Cakrawala di paragraf yang lain.
Debas pelan terhembus begitu saja dari pembau si perempuan mungil. "Nggak Cakra ... aku nggak inget apa-apa tentang kantin sekolah kecuali aku yang makan siang bareng sama kamu..."
"...terus kamu yang selalu jajanin aku, sama aku yang tiba-tiba dateng nyamperin kamu minjem uang padahal kita baru aja kenal."
Mata sayunya membulat. Lampu neon di sudut kepala berpijar terang saat kejadian yang menurut Senja cukup atau mungkin sangat memalukan terputar ulang di kepala.
Mungkinkah?
Senja lantas membaca kalimat di baris lain. Seketika tarikan dikedua sudut bibir tercipta meski samar.
"Saya yakin sih kamu ingat. Nggak mungkin nggak." Cakrawala menulis demikian.
Senja mengulas senyum kecil, lalu mengangguk. "Hemm...baru aja."
"Lucu nggak sih? Setelah perkenalan pemaksaan yang kamu buat di depan gerbang, setelahnya kita nggak saling ketemu sekitar berapa lama ya? Dua atau tiga minggu?"
"Tiga minggu."
"Ya sekitar itu lah ... terus tiba-tiba kita ketemu lagi di kantin dengan kamu yang tanpa ada malunya dateng nyamperin meja saya sama Koko cuma buat minjem uang karena ngakunya uang kamu ilang."
"Uang ku beneran ilang ya! Sembarangan!"
"Apapun jawaban kamu, saya bakal percaya aja deh ... hehehe." celoteh Cakrawala.
Kepulan asap putih tak kasat mata terhembus dari hidung mancung si perempuan mungil. Kesal lantaran Cakrawala menggodanya begitu.
"Eh tapi serius ... waktu itu uang kamu beneran ilang?"
Senja sedikit mendengkus. "Serius Cakra ... kenapa nggak percaya sih." rengeknya dengan nada yang terkesan manja.
Sebuah kebiasaan yang kerap kali perempuan itu lakukan jika bersama Cakrawalanya.
"Ya soalnya kan kamu waktu saya tanya nggak pernah mau jawab. Alasannya kenangan memalukan itu nggak usah diungkit-ungkit lagi..."
Bibir Senja mengerucut. "Ya itu emang malu-maluin kok." ujarnya pelan terdengar merajuk.
Senja ingat betul kejadian itu. Dimana ia dengan tidak tahu malunya datang menemui Cakrawala yang saat itu tengah menikmati makanannya bersama Maiko. Teman satu-satunya yang Cakrawala pula hingga sekarang.
Mengingat itu, tiba-tiba mata Senja memanas. Sudut hatinya secara spontan memutar memori yang lain. Biasanya, jika sedang bercerita tentang masa lalu, sekarang, atau masa depan, Senja selalu punya bahu tegap untuk ia jadikan sandaran.
Namun kini, hanya ada lengan kursi yang keras sebagai pengganti. Senja ingin menangis. Meratapi nasib dimana rasa hampa dan kehilangan lebih mendominasi.
Namun sebisa mungkin ia berusaha untuk menahan dan menerima. Jika dulu mereka selalu berdua, sekarang Tuhan memintanya untuk terbiasa sendiri. Tak apa. Senja rasa ia bisa, meski berat tetap mengiringi.
"Kamu tau nggak sih apa yang saya pikir waktu kamu dateng nyamperin meja saya sama Koko, terus minjem uang sambil cengengesan?"
Senja menjawab setelah mengusap bulir air di ujung mata. "Nggak."
"Saya mikirnya, wah ... amazing. Baru kenal nama aja udah berani minjem uang. Gimana kalo udah kenal lama?"
"Aku minjem semua yang ada di kamu."
Seperti tahu akan jawaban Senja, maka Cakrawala menulis, "Nah itu!" sebagai respon.
Bahkan Senja seperti bisa mendengar pekikan Cakrawala lewat kalimat yang ia tulis pada lembaran buku.
Terlebih lagi, angin yang berhembus kembali membawa aroma tubuh si laki-laki yang tertinggal pada kamar dan benda sekitar. Membuat Senja lagi-lagi merasa seolah Cakrawala tengah bersamanya.
Sudut bibirnya terangkat lebih lebar dari yang pertama saat memori itu terputar ulang.
Senja selalu tahu seperti apa kesalnya Cakrawala tiap kali ia meminjam barangnya. Bukan perkala pelit, melainkan antisipasi.
Sebab Senja seringkali lupa dimana ia biasa menaruh barang-barang miliknya ataupun milik orang yang ia pinjam.
"Mending kalo abis minjem dipulangin. Ini malah ilang semua ujung-ujungnya. Huh!"
Kekehan pelan Senja layangkan ketika mata membaca tiap deret kata yang Cakrawala tulis. Setelah sebelumnya hanya bulir air mata yang meluruh, setidaknya ada sedikit tawa yang tercipta.
"Tapi nggak apa-apa. Saya seneng bisa minjemin barang atau apapun itu ke kamu :)"
Senyum yang semula merekah perlahan luntur. Digantikan dengan senyum miris dan mata yang perlahan memerah.
"Thankyou.." ujar Senja lirih pada diri sendiri.
"Btw ... ceritain dong, gimana bisa uang kamu ilang? Terus kenapa tiba-tiba kamu punya pemikiran buat nyamperin saya dan minjem uang ke saya bukannya ke Koko?"
"Padahalkan kamu tau betul kalo kita nggak sekenal dan sedekat itu. Tapi kok kamu bisa nekat sih?"
Kalimat tanya Cakrawala membuat Senja terdiam. Sebenarnya bukan hal sulit untuk menceritakan seperti apa kisahnya.
Yang sulit adalah, bagaimana menyampaikan pada yang bersangkutan sedangkan Cakrawala saja sudah jauh dari pandangan.
Apakah Senja akan dinilai gila jika bercerita tentang masa lalu seorang diri?
Mungkin iya.
Tapi jika itu untuk Cakrawalanya, Senja rasa menjadi gila juga tak masalah.
"Kamu nggak perlu bingung atau takut cerita kamu nggak saya dengar. Saya dengar kok. Kalo pun nggak, nanti saya datengin Tuhan buat liat rekaman ulangnya ... hehehe." kelakar Cakrawala dalam tulisan.
Senja terkekeh kecil sembari menggeleng. Laki-laki itu memang sesuatu. Selalu saja punya caranya untuk membuat Senja tertawa.
Memang awalnya saja seperti balok es yang berjalan. Namun siapa yang tahu jika setelahnya, Cakrawala serupa mentari pagi yang menghangatkan.
Menghela.
Senja menyiapkan batin terlebih dahulu sebelum memanggil ingatannya kembali. Setelah dirasa siap, barulah cerita itu bergulir secara rinci.
🌸