Memories

Maria
Chapter #4

Mimpi

Lembaran sebelumnya telah selesai Senja baca. Juga tentang kenangan memalukan itu sudah Senja ceritakan pada Cakrawala melalui angin yang berhembus dan sepinya ruang kamar.

Tak apa.

Cakrawala berkata bahwa ia akan mendengarnya. Pun kalau tidak, bukankah ia bisa menanyakannya kembali pada Tuhan?

"Hah.." Senja menghela.

Kepalanya terasa berat dan matanya teramat perih. Niat menggebu untuk kembali memulai, namun apa daya fisik sudah mengibarkan bendera putih.

Menyerah.

Pundaknya merebah pada sandaran kursi dengan mata yang terpejam perlahan. Pada akhirnya Senja memilih untuk mengalah. Perempuan mungil itu tak ingin mendahului ego dengan menyiksa fisiknya lebih lama lagi.

Sudah cukup sedari kemarin malam hingga lima menit yang lalu seluruh tubuh dan hatinya diforsir secara penuh. Biarkan dirinya barang sejenak beristirahat kali ini.

Desau angin yang berhembus, juga aroma tubuh Cakrawala yang tertinggal membuai Senja secara perlahan.

Kesadarannya berangsur hilang seiring dengan deru nafas yang terhembus teratur. Perlahan, Senja mulai terlelap dalam tidur.

🌸

Hamparan padang hijau terpampang nyata di depan mata. Semilir angin dingin berhembus membelai lembut surai Senja yang tergerai, juga menerbangkan petal bunga dendelion ke angkasa.

Senja terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka. Perempuan pemilik senyum manis itu merasa terpesona dengan pemandangan yang Tuhan ciptakan.

"Uwaaah keren." ujar Senja senang.

Kaki mungil tanpa alasnya perlahan melangkah maju. Lembutnya rumput padang hijau adalah yang pertama kali ia rasakan.

Senyumnya terukir sementara mata memindai sekitar. Tangannya bergerak membelai petal bunga-bunga yang tumbuh liar di sana.

Terlalu larut dengan suasana, Senja sampai tak sadar jika ia telah melangkah jauh dari tempatnya semula.

Tidak ada lagi padang hijau penuh bunga, yang ada hanya sebuah danau luas dengan riak air berwana biru kehijauan tersaji apik di depan mata.

Pohon besar dengan dahan yang menjuntai ke bawah dan kicau burung yang bertengger menambah keindahan sekitar.

Senja berdecak kagum. Perempuan mungil itu merasa takjub melihat ukiran tangan Tuhan yang sempurna.

"Senja?"

Kepala bulat milik Senja tertoleh saat rungu mendengar sebuah suara yang amat ia kenal. Mata yang semula berbinar kagum, kini berubah menjadi bulat bingung.

Di hadapannya berdiri Gema Cakrawala. Sahabat yang sudah lebih dulu pergi padahal Senja masih ingin ditemani.

Wajahnya tetap setampan biasanya. Bahkan kini terlihat lebih tampan dari yang Senja tahu. Senyumnya merekah, tak ada lagi gurat sakit seperti tempo hari.

"C-cakra?" Senja memanggil gagap.

Matanya secara tiba-tiba terasa panas. Ada lapisan kaca bening yang tercipta akibat genangan air mata yang memupuk.

"C-cakra." tangannya perlahan terangkat. Jemari lentiknya bergerak maju bermaksud membelai wajah tampan sang lelaki.

Namun Cakrawala menggeleng dan mulai melangkah mundur sedang Senja berjalan mendekat.

"Cakra..." bulir air mata itu terjatuh perlahan seiring kelopak yang mengerjap. "Cakra." ujarnya lirih. "Jangan pergi."

Cakrawala tersenyum, tapi kepalanya tergeleng. "Saya harus pulang."

"Nggak Cakra. Kamu nggak boleh pergi." gantian Senja yang menggelengkan kepala.

Tangannya masih berada di posisi yang sama, bersamaan dengan langkah kaki yang terus bergerak maju. Namun semakin Senja mengejar, semakin cepat pula Cakrawala menjauh.

"Cakra jangan pergi!" Senja berteriak. "Jangan tinggalin aku!"

Cakrawala masih setia dengan gelengan. "Saya harus pulang."

"Cakra aku bilang jangan tinggalin aku!"

Lihat selengkapnya