Setibanya Senja di rumah, perempuan mungil itu langsung saja melangkah menuju kamar di lantai dua.
Dirinya mengabaikan Bu Sarah yang berdiri mematung di depan pintu, juga mengabaikan tatapan dua pasang mata yang lain; ayah dan kakak pertamanya.
Perempuan mungil itu seperti berada di dunia lain dimana hanya ada dirinya dan angan-angan tak bertuan yang menemani.
Nada dan Maiko yang masih setia berada di ruang tamu menghela nafas setelah melihat sang sahabat hilang di balik pintu kamar.
"Dimaklumin ya Ma ... Senja masih dalam suasana hati yang nggak baik." Nada lebih dulu buka suara meminta sang ibu untuk memaklumi.
Bu Sarah mengangguk mengulum senyum sendu. "Mama ngerti kok." ujarnya.
Perempuan paruh baya yang masih cantik diusia senjanya itu mengerti bagaimana kehilangannya Senja atas kepergian Cakrawala. Karena Bu Sarah dan keluarga yang lain juga merasakan hal yang sama.
Cakrawala bagi mereka bukan hanya sekedar sahabat Senja. Cakrawala bagi mereka, layaknya seorang anak dan saudara sendiri.
"It's everything oke?" Fajar bertanya setibanya ia di ruang tamu bersama Pak Agung yang sudah duduk di sebelah Bu Sarah.
Nada yang duduk di sebelah Maiko menghela sekali lagi. "Nope." gelengnya pelan. "Senja nggak baik-baik aja Mas."
"Sebenernya gue juga Bang--kita--semua nggak baik-baik aja." Maiko memandang Fajar sayu. "Tapi mungkin kadarnya nggak lebih dari yang Senja rasa." lirihnya.
"Yang sabar." pundak Maiko, Fajar tepuk pelan.
Laki-laki itu kembali mengulum senyum, lalu mengangguk. Setelahnya Maiko beralih pada Nada. "Mau pulang nggak?" tanyanya.
Nada menggeleng. Perempuan itu memang memutuskan untuk menetap di rumah Senja setelah melihat gelagat sang sahabat yang jauh dari kata baik.
"Aku di sini aja. Mau nemenin Senja." jawab Nada sambil tersenyum. "Kamu mau pulang?"
"Iya..." Maiko menjeda. "Kepala gue sedikit sakit."
"Itu efek dari kamu yang nggak tidur sejak kemarin dan efek karena kamu kebanyakan nangis."
Maiko terkekeh pelan. "Namanya juga berkabung Nad. Wajar kali nangis. Emangnya lo, nggak nangis sama sekali?" ujar Maiko terdengar mengejek.
Rupanya perkataan spontan Maiko barusan memberi sedikit goresan luka dihati Nada. Hingga membuat perempuan itu memilih dia untuk sejenk.
Setelahnya, Nada mengulas senyum sekilas, kemudian menatap kearah lain. "Kamu nggak perlu liat tangis aku kayak mana Ko." timpalnya pelan. "Lagipula, bukan berarti kalo aku nggak nangis aku nggak merasa kehilangan. Disini..." Nada beralih menatap Maiko dengan mata yang berkaca. "...sama seseknya. Sama sakitnya. Bahkan lebih sakit dari yang kamu kira."
Mendengar itu, Maiko lantas membawa Nada dalam pelukannya. Seketika air mata yang mungkin sudah Nada tahan sedari tadi langsung meluruh membasahi pipi. Bahunya bergetar meski tak ada isak yang keluar. Namun Maiko tahu sebesar apa duka itu.
"Maaf." Maiko berbisik lirih.
Dari sekian banyak kata yang terlintas si kepala, hanya satu kata itu yang berhasil terucap. Matanya sudah memerah kembali. Maiko tak tahu jika perkataannya barusan membuat Nada semerana ini.
Sedangkan disisi lain, seluruh keluarga Senja nampak diam sembari memandang sendu. Bu Sarah bahkan sudah menangis di pelukan Pak Agung sambil menahan isakan.
Kepergian Cakrawala, benar-benar membawa duka untuk semuanya.
🌸
Senja merebahkan diri di kasur miliknya dengan posisi meringkuk. Perempuan mungil itu bahkan belum berganti pakaian sedari pagi tadi.
Pandangannya menerawang kosong, sementara lengannya masih memeluk buku pemberian Cakrawala dengan erat.
Senja masih getu. Ingin hati membuka lembaran cerita yang baru dan membacanya, namun ragu masih menyelubungi seluruh hati.
Senja yakin, suasana hati dan kerinduannya akan semakin memburuk jika kembali melanjut apa yang ia mulai sebelumnya.
"Aku mau baca lanjutannya ... tapi aku masih takut." Senja berujar sendiri. "Aku takut nanti aku makin kangen kamu."
Jemarinya mengelus bagian atas buku. "Aku takut, nanti aku nggak ikhlas-ikhlas ngelepas kepergian kamu." jedanya masih dengan pandangan yang kosong. "Tapi kalo aku nggak baca, aku nggak akan tau kelanjutannya kan?"
Setetes air mata mengalir melewati batang hidung. "Aku harus gimana Cakra?" tanyanya gamang.
Ceklek!
Lamunan Senja terabaikan. Senja langsung mengalihkan tatap pada pintu kamarnya yang terbuka. Di sana telah berdiri Nada dengan tangan membawa segelas susu hangat.
"Hei..." Nada berujar. "Boleh masuk?" tanyanya.
Senja mengulum senyum singkat. Sejujurnya Senja merasa konyol dengan pertanyaan yang Nada ajukan.