Kernyitan di dahi mulus milik Senja tak berkurang setelah dirinya membaca tulisan tangan Cakrawala.
Otak yang biasa mudah mencerna informasi, kini melambat layaknya siput-siput kecil bebatuan sungai.
Perempuan itu masih memikirkan tentang kisah yang Cakrawala coba kenang. Namun apa daya jika ingatan tak memadai.
"Saya yakin 100% kalo kamu sekarang lagi kebingungan pake banget." tulisan pertama yang Senja baca ketika maniknya bergerak turun pada baris yang lain.
"Kamu pasti mikir, ini maksudnya apa sih? Kenapa ada foto Doromaret terus captionnya 'Lima Ratus'. Iya kan?" Kepala Senja terangguk menanggapi. Cakrawala memang tahu luar dalam mengenai dirinya.
"Dipikirlah. Masa iya harus saya kasih tau melulu. Ini kan kisah kita berdua, kenapa harus saya yang ingat sendiri? Nggak cik itu namanya." Cakrawala berujar nesu melalui tulisan.
Senja mendengus sedikit kesal. "Bukannya gitu ..." ada rajuk yang Senja keluarkan. Padahal jelas, ia tahu bahwa Cakrawala tak mungkin melihatnya. "... kisah kita kan banyak. Jadi kalo harus nginget satu-satu, ya aku bingung."
"Saya sih nggak mau tau ya alasan kamu apa. Pokoknya kamu harus cari tau sendiri ada hubungan apa si lima ratus sama Doromaret. Kalo nggak, saya marah." kata Cakrawala begitu.
Kembali dengusan kesal Senja layangkan sebagai balasan. Dalam hati, Senja ingin sekali memaki Cakrawala andai kata laki-laki itu kini berdiri di hadapan.
Bagaimana bisa Cakrawala begitu tega membiarkan dirinya berpikir sedemikian pelik? Sedangkan Cakrawala sendiri hanya diam mangawasi dari atas sana tanpa mau memberi solusi.
"Berpikir Senja ... ayo berpikir." bibir Senja bergerak merapalkan kata yang sama. Sedangkan mata sedikit sembabnya merapat dengan kerutan pada dahi yang tercetak jelas.
Lima belas menit berselang, Senja belum menemukan kenangan yang Cakrawala maksud. Wajahnya yang semula serius, berubah menjadi rengut.
"Gimana? Ingat nggak?" adalah tulisan yang Senja baca ketika matanya bergulir pada baris lain di lembaran buku.
Bibir mungil sang perempuan, mengerucut maju. "Nggak." balas Senja seolah mereka tengah berbicara secara langsung.
"Udah saya duga ..." lewat tulisannya, Cakrawala berujar demikian.
Mungkin jika Cakrawala tengah bersamanya sekarang, Senja bisa melihat raut wajah masam dari sang sahabat yang menurutnya lucu.
'Sial!'
Senja tersenyum kecut. Bayang-bayang tentang kebersamaan mereka muncul seolah mengejek sepi yang Senja derita.
Ingin rasanya Senja mengutuk dan menyumpah serapahi, namun niatan itu tertahan. Sebab Senja mengerti, ini adalah konsekuensi yang harus ia terima dan jalani.
"Hah~~" hela panjang terhembus bersamaan dengan sesak yang perlahan menghimpit dada.
Diurutnya pelan bagian itu dengan harapan, sesak yang muncul perlahan sirna. Sedang kepala dan bibir kompak merapal kata yang sama.
"Tenang Senja ... semua bakal baik-baik aja." katanya secara berulang.
Perlu setidaknya beberapa menit untuk menenangkan diri dari kilasan masa lalu, mata Senja kembali bergulir pada baris yang lain.
"... kamu nggak akan ingat apa-apa. Salah saya juga kenapa harus buat kamu berpikir." sepertinya Cakrawala menyadari letak kesalahanya. Dan hal itu berhasil membawa senyum tulus Senja tersemat di wajah; sekalipun tipis.
"Eh tapi, saya yakin ... dari sekian banyak kenangan kita yang kamu lupa, saya berani jamin kalo kamu pasti nggak akan lupa sama satu hal. Tau nggak itu apa?"
"Nggak, memang apa?"
"Saya! :D" tulisan itu membuat Senja menggigiti bibirnya secara pelan. "Kamu nggak akan lupa sama saya. Iya kan? Hahahahaha." ada tawa yang terselip pada tulisan tangan Cakrawala. Tapi bagi Senja, itu adalah duka baru di atas luka yang menganga.
"Kamu jelas-jelas tau jawabannya apa Cakra." balas Senja lirih. Matanya memerah menahan tangis.
"Oke ... karena kamu nggak ingat tentang kisah si 'Lima Ratus' dan 'Doromaret', saya bakal ceritain tentang itu." Senja membacanya dengan perlahan sambil menjeda.
Jemarinya bergerak cepat untuk menghapus bulir air mata yang tiba-tiba mendesak keluar.
Perlu setidaknya dua kali tarikan nafas panjang untuk membuat perasaan perempuan itu sedikit membaik, dan setelahnya baru Senja melanjut lagi.
"Kamu pasti masih ingatkan, soal kamu yang minjam uang saya waktu di kantin? Yang dua puluh ribu?"
Kepalanya terangguk, tapi pangkal alis Senja mendadak mengkerut. Kali ini bukan perkara lupa, melainkan bingung.
Senja memang meminjamnya pada Cakrawala saat itu, tapi bukannya hutang itu sudah Senja bayar? Ya meski untuk membayarnya harus melewati jeda panjang terlebih dahulu. Tapi intinya tetap saja, hutang itu sudah lunas.
"Iya ... hutang itu udah kamu bayar kok." tulis Cakrawala seperti mengetahui jalan pikiran Senja. "Saya cuma mau ngingetin aja cara kamu bayarnya gimana."
"Gimana memangnya?" tanya Senja penasaran.
"Kamu ingat nggak sih? Setelah kamu minjem uang ke saya, kamu nggak langsung bayar hutang kamu keesokan harinya ..."
"... perlu berapa lama ya? Seminggu apa sepuluh hari gitu. Saya lupa."
"Aku juga."
"Pokoknya itulah." tulisan Cakrawala berbunyi begitu. "Jujur, sebenernya waktu kamu minjem uang itu ke saya, saya nggak pernah nganggepnya sebagai hutang. Saya ikhlas ngasihnya ke kamu ..."
"Kalo ikhlas, kenapa nggak ngomong dari awal aja? Kan aku jadinya nggak perlu bayar!" gerutu Senja saat mengetaui fakta yang sebenarnya.
"... tapi waktu itu kan masih ada Koko." lewat tulisannya, Cakrawala menjawab pertanyaan Senja.
"Saya nggak enak mau ngomongnya sama kamu. Nanti dikira saya sok baik atau apalah ..."
"... ya meski saya yakin, Koko nggak akan berpikiran kayak gitu. Tapi jaga-jaga nggak ada salahnya kan?"
"Lagi pula liat respon dia waktu kamu bilang kamu kenal saya aja udah heboh gitu. Gimana kalo saya bilang saya ikhlas minjemin kamu uang, dan nggak perlu dibayar? Bisa kejang-kejang kayaknya dia."
Senja terkekeh kecil membaca curhatan yang Cakrawala tulis. Dalam hati, Senja membenarkan apa yang laki-laki itu katakan. Maiko memang sedikit lebay, dan wajar jika Cakrawala menyembunyikan niatannya.
"Tapi sebelum saya lanjut ceritanya, saya mau tanya dulu."
"Tanya apa?"
"Kamu, ingat nggak sih kalo kamu itu punya hutang sama saya? Kalo ingat, kok kamu bayarnya lama?"
Bibir Senja lantas mengerucut. "Katanya ikhlas, tapi kenapa masih bahas?" kesalnya.
Tapi setelah matanya bergulir membaca tulisan di baris lain, helaan malah terhembus pelan dari pembau.
"Karena saya tau kamu bakalan ngambek, jadi saya udah mempersiapkan balasan." katanya.
"Bukannya nggak ikhlas, saya ikhlas lahir batin malah. Tapi saya cuma mau tanya aja kok .."
"... semua yang terjadi di dunia ini kan pasti ada hukum sebab akibatnya. Contoh, kamu bangun kesiangan, akibatnya kamu terlambat ke sekolah dan berakhir dengan kamu yang dihukum Pak Selamet ..."
"... gitu juga dengan kejadian ini. Kamu pasti punya alasan tersendiri kan? Nah saya mau tau alasan kamu itu apa."
Senja terdiam. Bukan karena tak ingin menyampaikan alasannya. Namun lagi-lagi Senja bingung bagaimana menyampaikannya.
Apakah pada sepi seperti tadi?
Atau pada angin sore yang berhembus dan menyusup melalui celah jendela?
"Jangan bingung ..." itu adalah kalimat yang Senja baca pertama kali. "... kamu tau kan? Kamu mau cerita kayak mana pun, saya pasti tau. Kalo pun saya ketinggalan ceritanya, nanti saya bakalan tanya langsung ke Tuhan. Sama kayak kemarin."
Jujur, tulisan Cakrawala membuat Senja ingin menjerit frustasi.
Apa dulu, dikehidupan yang lalu Senja adalah penghianat negara? Maka dikehidupan sekarang, Tuhan menyiksanya seperti ini?