Sesuai dengan janji mereka sore tadi pada Bu Raina, maka selepas menunaikan ibadah sholat Maghrib, ketiganya bersama dengan keluarga Senja yang lain langsung bergegas kesana.
Malam ini sehabis Isya, di kediaman Bu Raina akan diadakan pengajian hari pertama meninggalnya Cakrawala. Dan mungkin akan terus berlanjut sampai tujuh hari kemudian.
Senja berada di dalam mobil yang Maiko kemudikan. Sedangkan Bu Sarah dan Pak Agung berada di mobil lain bersama Fajar.
Suasana mobil yang Senja tumpangi nampak sunyi senyap. Tak ada obrolan berarti yang tercipta sebab Senja asik memandang jejeran lampu pinggir jalan dengan pandangan menerawang.
Nada sendiri sibuk berbalas pesan dengan pihak keluarga yang berada nun jauh di sana. Sementara Maiko fokus pada kemudi.
Ketiganya sibuk dengan dunia masing-masing, hingga terlalu abai dengan sekitar.
Senja menggerakkan ujung jarinya pada kaca jendela mobil; membuat pola abstrak. Pikirannya terdistraksi pada satu nama; Cakrawala.
Senja tidak pernah mengira jika saat ini akan datang layaknya mimpi buruk yang tak pernah berlalu.
Senja masih berharap semua hanya bunga tidur yang akan menghilang ketika ia terbangun esok pagi.
Tapi kibaran bendera kuning yang masih bertengger apik di depan pagar sedari pagi tadi menjelaskan bahwa semua adalah nyata.
"Hei... kok ngelamun? Kenapa?" Nada mengusap pipi Senja pelan. Di sebelahnya berdiri Maiko yang memandang dengan sendu.
Ia dan yang lainnya telah tiba di kediaman Bu Raina sejak tiga menit yang lalu. Namun ketika kaki menapak pada tanah, Senja memilih untuk diam dengan lamunan yang menguasai diri.
Senja menoleh. Matanya memerah dengan suara sedikit serak saat menjawab pertanyaan yang Nada layangkan barusan.
"Aku pikir, meninggalnya Cakra itu cuma mimpi buruk yang bakalan ilang waktu aku bangun." setetes air mata jatuh membasahi pipi tanpa bisa dicegah. "Tapi ternyata aku salah. Ini nyata..." katanya. "...cuma aku yang terlalu halu sampai menganggap kenyataan adalah mimpi."
Nada langsung membawa tubuh Senja dalam dekapan hangatnya. Dadanya merasa sesak setiap kali melihat Senja merana seperti ini.
Bagi Nada, kebahagiaan Senja adalah segalanya. Dan kesedihan Senja, adalah duka baginya.
"Hus ... tenang." Nada berbisik lirih. Di pelukannya, Senja sudah menangis dalam diam.
Kali ini tak ada isakan yang keluar seperti sebelumya. Hanya air mata yang meluruh deras hingga membasahi bagian bahu dari baju yang Nada kenakan.
Maiko sendiri tak bisa berbuat banyak, karena laki-laki itu pun kembali merasakan hal yang sama.
Tak ubahnya Senja, Maiko pun berharap jika apa yang terjadi saat ini hanyalah sebuah candaan dari Tuhan.
Namun setelah Maiko berpikir lebih baik lagi, Maiko tersadar tentang sesuatu. Bahwa Tuhan tidak akan pernah bercanda dengan apa yang sudah Ia gariskan pada hamba-Nya. Terlebih urusan nyawa.
Bu Raina dan keluarga Senja yang melihat bagaimana rapuhnya perempuan kecil itu hanya bisa memandang sedih.
Bukan hanya Bu Sarah yang mengusap ujung matanya menggunakan jari, Bu Raina pun melakukan hal yang sama entah untuk yang keberapa puluh kali.
"Tuhan udah punya rencananya sendiri Senja ... kita nggak ada yang tahu rencana Tuhan itu kayak mana..."
"...semua udah Tuhan gariskan bahkan jauh sebelum kita dilahirkan ... dan ini adalah salah satu garis takdir Tuhan yang harus kita terima." Nada menjauhkan wajah basah Senja.
Perempuan itu menundukkan kepala dengan tangis yang mengiringi. Bibir mungilnya sudah mengeluarkan sedikit darah karena ia gigiti guna menahan isak. Hanya bahu yang bergetar tanda duka belum sepenuhnya pergi.
"Senja.." Nada memanggil dengan suara yang perlahan ikut serak. Tangannya menangkup pada kedua sisi wajah sang sahabat. "...kita nggak bisa terus-terusan bersedih. Yang pergi biarin pergi. Yang hidup, harus kuat menjalani hari setelah ditinggal pergi."
"Hiks..." satu isakan terlepas lalu kembali diikuti dengan isakan yang lain. Senja mulai menyerah untuk menahan. Maka perempuan itu mengeluarkan semua beban.
"Cakra udah bahagia di sana. Kamu harus percaya itu. Sekarang giliran kamu yang harus ikhlas ... gimana pun caranya." itu kalimat yang Nada ucapkan. Meski nyatanya Nada tahu, kata 'ikhlas' amat sangat sulit dilakukan saat ini.
Tapi apa lagi yang bisa Nada lakukan? Bukan kah mengikhlaskan memang jalan satu-satunya?
Sebab menangis meraung pun tak akan membuat Tuhan meniupkan kembali ruh Cakrawala yang sudah Ia perintah untuk pulang.
Ini tentang tulisan tangan Tuhan dan kerelaan. Berat memang, tapi apa yang bisa manusia lakukan selain menerima?
🌸
Acara pengajian itu telah selesai tepat pukul sembilan malam. Senja dan yang lainnya masih berada di kediaman Bu Raina.
Perempuan paruh baya itu berulang kali mengucapkan rasa terimakasih pada Pak Agung sekeluarga karena telah bersedia membantu ketika ia tengah dilanda kesusahan.
Namun bagi Pak Agung, Bu Raina tak perlu mengucapkan terimakasih karena baginya, Bu Raina bukanlah orang lain lagi; melainkan keluarga. Sudah sewajarnya sesama keluarga saling membantu.
"Bunda, karpetnya mau dibiarin atau mau Koko gulung?" tanya Maiko setelah selesai membantu Nada berbenah.
Bu Raina yang tengah menemani Pak Agung dan Bu Sarah di ruang tengah menggeleng. "Dibiarin aja Ko ... kan besok mau dipake lagi. Daripada besok ribet masih ngegelar dulu, jadi udah dibiarin aja. Nanti kalo takziahannya udah selesai baru kita beresin."
Maiko mengangguk lalu bermaksud untuk berlalu membantu Fajar di halaman depan membersihkan sampah yang tamu undangan tinggalkan. Namun niat itu tertahan setelah matanya menangkap hal yang sedikit janggal.
Sedari tadi, Maiko tidak melihat adanya Senja. Sedari dari acara dimulai hingga acara terselesaikan. Jadi untuk mengurangi rasa penasarannya, Maiko memilih bertanya.