Mel mulai memegang dadanya yang terasa sesak. Arya terus saja menatap Mel dengan tajam.
"iya. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, saat ini kau masih istriku." Mel mulai mengingat sekilas-sekilas kecelakaan yang menimpanya. Mobil Sedan hitam, mobil menabrak pohon, suara ambulance seakan memenuhi kepalanya yang mulai terasa sakit. Semua bayangan kecelakaan terlintas dan tergambar jelas dalam ingatannya. Sakit dan benar-benar Mel merasakan sakit pada kepalanya.
Mel mulai memegang kepalanya dengan tangan kiri yang tadinya memegang tas kecil. Tas jinjing bewarna abu-abu itu telah jatuh dan isi di dalamnya berserakan dilantai.
Rasa sakit dikepalanya dan sesak didadanya sungguh menyiksa. Ditambah bayangan kecelakaan yang tiba-tiba muncul membuat otaknya begitu penuh.
Mel terduduk di atas lantai. Tangan kananya memegang dada dan tangan kirinya memegang kepala. Mel nyaris kehilangan nafasnya. Mel tetap bertahan dan mengatur detak jantungnya yang tidak karuan. Namun sekuat apapun Mel mencoba, itu hanya percuma dan hanya menyisakan rasa sakit setengah mati yang Mel rasakan. Mel meminta pertolongan kepada Arya.
"Ar... Arya.. Tolong" Mel berbicara terputus-putus karena menahan sesak didadanya yang begitu menyiksanya.
"Aku sangat merindukanmu. Aku sangat merindukanmu istriku." ucap Arya yang masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Arya hanya menatap Mel yang tengah kesakitan meminta tolong. Hati Arya sangat hancur melihat keadaan Mel yang merintih kesakitan dan tak berdaya dihadapannya. Hatinya sangat sesak melihat orang yang sangat dicintainya begitu rapuh.
Arya berbalik menghadap dinding dan mengepalkan tangannya kemudian dia menghantamkan tangannya pada dinding kokok bewarna putih dihadapannya. Berkali-kaki Arya memukul dinding sampai tanpa disadarai noda darah telah tertinggal didinding. Arya benar-benar emosi dan marah pada dirinya sendiri karena harus melihat wanita yang sangat dia cintai tak berdaya dihadapannya.
"A.... Arya tolong. Ini sangat menyakitkan." Mel menatap Arya dengan raut wajah kesakitan dan air mata yang deras mengalir. Kepalanya sangat sakit seakan mau pecah. Mata dan wajah Mel terlihat merah, otot-otot diwajahnya tampak keluar karena menahan rasa sakit yang luar biasa.
Arya menghentikan pukulannya dengan nafas terengah-engah karena menahan seluruh emosi yang menguasai dirinya. Kemaja biru yang sebelumnya rapi bersih kini sudah lusuh dibasahi keringat dan percikan noda darah. Arya meneteskan air mata tak kuasa mendengar rintihan Mel. Hatinya benar-benar ingin menolong tapi dirinya juga enggan untuk melangkah. Dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Arya berbalik menghadap Mel dan hanya berdiri memperhatikan tampa berniat membantu. Sakit memang, tapi Arya juga tidak tahu bagaimana dia harus bersikap. Hal ini adalah peristiwa yang tidak Arya ingin saksikan lagi untuk kedua kalinya. Arya benar-benar merasakan sesak didadanya. Air matanya juga tidak berhenti menetes.
"Aa... Arya tolong." Mel menangis kesakitan. Mel mulai tersungkur kelantai. Pandangannya pada Arya mulai memudar dan semakin gelap, namun Mel bisa melihat jika Arya masih tetap menatapnya dan tidak beranjak dari tempatnya berdiri hingga akhirnya gelap dan Mel tidak sadarkan diri.
Arya hanya memandang tajam penuh arti kepada Mel. Airmatanya menggambarkan kerapuhan hati yang tengah dia rasakan saat ini. Rapuh dan hancur melihat istri yang sangat dicintai menahan rasa sakit. Seakan memori masa lalu terulang kembali. Kenangan tiga tahun silam yang membuat hatinya tersayat.
******
Arya Pov
Aku tengah memandang Mel yang saat ini terbaring diranjang kamarnya. Mel tengah diperiksa oleh Lusi.
Lusi adalah teman baikku semasa kuliah. Sampai sekarang Lusi dan aku masih menjalin hubungan baik. Aku sering sekali bercerita dan sesekali berkonsultasi mengenai keadaan Mel. Karena Lusi adalah seorang dokter, aku merasa akan lebih baik jika aku banyak cerita kepadanya tentang kondisi Mel. Lusi juga tahu situasiku dan Mel saat ini. Dia juga menjadi pendengar baikku disaat Maron dan Tari sibuk dengan urusan mereka.
Mel juga sangat dekat dengan Lusi. Terkadang aku mengajak Mel bertemu dengan Lusi untuk urusan bisnis. Selain cantik, Lusi juga sangat cerdas. Sebagai seorang dokter, Lusi juga mengurus bisnis warisan orang tuanya dibidang pariwisata. Orang tua Lusi memiliki beberapa bisnis salah satunya di bawah pimpinan Lusi karena orang tuanya mengurus bisnis hotel mereka yang ada di Paris.
Lusi sedang mengatur aliran pada selang infus Mel. Perlahan, cairan infus mulai menetes. Lusi melihat arloji yang ada ditangannya kemudian berjalan mendekat padaku.
"Kamu harus lebih sabar ngadepin Mel. Jangan sampai gegabah." Lusi memberikan selembar kertas resep kepadaku.
"Ini resep yang harus kamu tebus. Disitu udah aku tambah vitamin juga." Aku meraih kertas resep dari tangan Lusi dan memandang selembar kertas resep obat itu dengan pandangan menerawang.
"Tanganmu berdarah. Duduklah biarku obati." Lusi berjalan untuk mengambil tasnya yang diletakkan diatas ranjang. Aku tidak mengindahkan kata-katanya dan tetap memandang kertas resep ditanganku.
"Duduklah dulu." Lusi menarikku untuk duduk diatas sofa yang tidak terlalu panjang tapi cukup untuk kami duduk berdua. Aku masih belum merspon Lusi meski kini kami duduk berdua. Aku melirik Lusi yang saat itu tengah mempersiapkan beberapa obat yang diletakkannya diatas meja.
"Tahanlah ini sedikit perih." Lusi mengoleskan obat pada tanganku yang membuatku meringis karena perih. Aku tidak tahu itu obat apa. Aku hanya tahu obat itu sangat perih dan berhasil membuatku merasakan luka pada tanganku. Ketika melihat Mel begitu kesakitan, aku benar-benar tidak bisa merasakan apapun kecuali rasa perih pada hatiku. Aku bahkan tidak bisa merasakan luka pada tanganku. Tapi setelah Lusi mengoleskan obat pada lukaku membuatku sadar jika tangaku benar-benar terluka.
"Lus." ucapku lirih dan memperhatikan Lusi yang kini sedang fokus membungkus tangan kananku dengan perban.
"Em.." Jawab Lusi singkat dan tetap fokus membungkus tanganku yang terluka.
"Apa yang harus aku lakuin ? Aku capek Lus. Apakah mungkin Mel mengingatku kembali ?" ucapku dengan menatap Mel yang terbaring diranjang tak sadarkan diri. Lusi masih fokus pada pekerjaanya yang kali ini sepertinya sudah hampir selesai.
Setelah selesai membungkus tanganku dengan perban, Lusi membereskan beberapa obat yang ada di meja kemudian memasukkan kedalam tasnya. Lusi masih belum menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia sangat tahu perasaanku dan apa yang aku rasakan saat ini. Dia memberiku sedikit waktu untuk menenangkan pikiranku karena dia tahu ini sangat berat bagiku.
"Kamu yang sabar ya. Aku yakin suatu hari nanti Mel bakal inget semua." Akhirnya Lusi menjawab pertanyaanku dan menepuk pundakku untuk memberikan dukungan dan semangat untukku. Aku meringis kecut mendengar jawaban Lusi. Aku tahu dia sangat tulus mengucapkan itu. Tapi bukan itu jawaban yang aku inginkan. Semua jawaban terasa begitu semu dan sepertinya tidak memberiku harapan.
"Setidaknya hanya omong kosong itu yang bisa menguatkanku" Lusi tersenyum manis kepadaku. Dia mengekus-elus pundakku dengan kasar.
"Aku harus pergi. Kamu gak papa aku tinggal ? Aku harus mengurus sesuatu dirumah sakit." Lusi menunjukkan jempolnya kearah pintu keluar menandakan dia harus segera pergi.
Aku menoleh kearah pintu dan kembali menatap Lusi yang sedang menunggu jawabanku. Aku menganggukan kepalaku meyakinkan Lusi bahwa aku baik-baik saja jika Lusi harus pergi. Lusi mengelus lembut pundakku kemudian berdiri dan pergi meninggalkan kami berdua.
Setelah Lusi menghilang dibalik pintu kamar Mel aku berdiri dan melangkahkan kakiku berdiri ditempat semula sebelum Lusi menarikku untuk duduk. Aku terus saja menatap Mel yang saat itu tidak bergerak meski nafasnya masih terlihat dari dadanya. Aku benar-benar sangat takut kehilangan dia. Aku tidak ingin kehilangan dia dengan cara seperti ini. Memikirkan hal itu membuat dadaku sesak dan hatiku seakan tersayat.
******