MEMORIES

Meria Agustiana
Chapter #16

Part 15

Tari duduk sendirian disebuah caffe. Hari ini cuaca mendung dan rintik hujan mulai turun membasahi jalanan dan kendaraan lalu-lalang ditengah kota Jakarta. Meski ini hari minggu, namun jalanan ibu kota tetap padat meski tidak macet.

Tari duduk disebelah kaca besar yang membuatnya bisa memperhatikan jalanan yang ramai kendaraan meski sedang gerimis. Menikmati minuman hangat red velvet latte ditengah suasana dingin menusuk tulang adalah pilihan yang tepat.

Bagi sebagaian orang hari minggu adalah hari dimana semua orang istirahat dari pekerjaannya. Berkumpul bersama teman atau keluarga, pergi berlibur dan melakukan banyak hal menyenangkan. Tapi tidak dengan Tari. Alih-alih berada didalam rumah menonton drama korea layaknya anak muda saat ini, dia justru lebih memilih caffe kecil dipinggir jalan untuk mengisi hari liburnya. Tari memang beda dari wanita masa kini yang sangat menyukai drama negeri gingseng tersebut. Dia lebih suka menonton film-film trialler, horor dan psikopat. Baginya film itu lebih menegangkan dari pada menonton drama percintaan yang alurnya mudah ditebak.

Tari menyeruput minumannya menggunakan dua tangan. Sensasi hangat dan rasa manis pada minuman membuatnya memejamkan mata dan menikmati rasa hangat menyebar keseluruh tubuhnya.

"Boleh aku duduk di sini ?" Suara seorang pria mengejutkan Tari dan membuatnya membuka mata kemudian menoleh kearah sumber suara. Ketika Tari menoleh kekanan tampak pria tampan berkaca mata membawa nampan berisi secangkir kopi dan kue. Pria itu tersenyum kepada Tari yang dibalas senyum dan anggukan pula.

Pria itu duduk dihadapan Tari dan meletakkan nampan berisi kopi dan kue diatas Meja.

Caffe yang Tari kunjungi saat ini adalah sebuah caffe kecil dipinggir jalan. Caffe ini tidak terlalu terkenal dan ukurannya sangat kecil. Meski begitu caffe ini sangat nyaman dan suasanannya sangat tenang. Hidangan yang yang ditawarkan juga sangat barvareasi dengan harga ramah dikantong.

"Maaf jika saya mengganggu. Perkenalkan" Pria itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Karena merasa aneh Tari hanya diam memegang mug minumannya dengan kedua tangan serta mengangkat satu alisnya.

"Oh..." Pria itu menarik kembali tangannya dan tersenyum kecut.

"Nama saya Bastian. Anda Utari Prisca Audri kan ?" Pria bernama Bastian itu sangat antusias mengucap nama Tari.

"Iya benar. Darimana kamu tahu namaku ?" Selidik Tari pada Bastian.

"Siapa yang tidak kenal seorang Tari. Anda pernah masuk majalah terkenal di Singapura berkat bakat dan kecerdasan Anda dalam mengelola bisnis." Tari hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meletakkan gelas diatas meja.

"Anda juga sangat terkenal di universitas-universitas Singapur karena sering menjadi pembicara seminar. Selain menjadi pembicara, Anda juga mengajar di Universitas Negeri di Jakarta. Anda begitu luar biasa diusia muda." Pria itu sangat antusias.

"Pernah lebih tepatnya." Tari menjelaskan jika dia pernah mengajar beberapa kali saja di Universitas yang pria ini maksud.

"Iya" pria itu terus tersenyum kepada Tari. Meski fisiknya sangat tinggi namun pria ini masih terlihat imut. Kulitnya putih dan matanya terlihat sipit berbalut kacamata membuatnya bak oppa Korea.

"Lalu kamu ?" Tari memiringkan kepalanya.

"Saya salah satu mahasisiwa Universitas Negeri di Jakarta, mengambil jurusan bisnis management. Saya menempuh pendidikan S2 dan saya pernah ikut seminar Anda ketika di Singapura. Saya salah satu penggemar Anda." Bastian tersenyum senang bisa bertemu idolanya. Tari hanya menganggukkan kepala. Tari bingung harus berkata apa. Dia juga tidak tahu kalau dia begitu populer sehingga memiliki penggemar. Tari menjadi salah tingkah diidolakan pria muda nan tampan dihadapannya.

"Waktu seminar dulu saya ingin bertanya sesuatu, tapi waktu yang diberikan tidak cukup. Bolehkan saya bertanya sekarang ?" Pinta Bastian penuh harap. Tari mencoba menetralkan pikirannya dan fokus pada pertanyaan pria muda ini.

"Boleh saja. Apa yang ingin kamu tanyakan ?" Tari mulai memposisikan duduknya agar lebih nyaman. Dia tidak ingin terlihat gugup sehingga wibawanya akan jatuh dihadapan penggemarnya.

"Anda pernah berkata jika dalam sebuah bisnis kita tidak mengenal kata teman. Anda mengatakan jika teman akan jadi lawan dan lawan bisa saja jadi teman." Bastian menjelaskan dengan mengerakkan tangannya.

"Wow... Ingatanmu sangat bagus." Tari menatap tajam pada Bastian. Raut wajah Tari seketika berubah dengan senyum sinis. Wajah ramahnya berubah menjadi tak bersahabat.

"Jadi sebenarnya bisnis itu kejam. Maksud kejam disini adalah kita tidak bisa mencampurkan antara urusan pribadi dan pekerjaan. Semua harus professional dan tidak peduli dengan siapa kita berhadapan. Jika kamu menginginkan sesuatu maka kami harus mengejar sampai dapat. Itu perinsipku. Jika mau sukses jangan baper atau terlalu menghasiani orang. Sekali lagi itu perinsipku. Setiap orang punya caranya masing-masing. Termasuk caramu akan berbeda denganku." Tari menunjuk Bastian." Bastian sempat terdiam sejenak mendengar ucapan Tari.

"Lalu bagimana cara Anda menghadapi setiap masalah yang hadir dalam karir Anda ?" Tari diam sejenak dan memandang Bastian dengan tajam. Tari menoleh kearah jalan. Dari balik jendela caffe Tari melihat sosok Arya didalam mobil. Arya duduk dibalik kursi penumpang dan kaca mobil turun karena Arya sedang memberi sesuatu untuk seorang pengamen. Caffe yang Tari kunjungi memang berada diperempatan lampu merah.

Setelah pengamen yang menggunakan jas hujan bewarna hijau itu pergi Arya menutup kembali kaca mobil. Tari tersenyum sinis dan alis sebelah kanannya diangkat.

"Caranya, menyingkirkan benalu yang mengganggu." Tari kembali menatap Bastian dengan senyum ramah. Wajah yang tadinya penuh dengan kelicikan dan kekejaman, kini kembali terlihat sangat lembut dan ramah dihadapan Bastian.

"Apakah ada hal lain yang ingin kamu tanyakan lagi ?" Tari melirik jam dipergelangan tangannya. "Jika tidak ada yang ditanyakan aku harus pergi untuk menemui sesorang." Tari mencengkram meja dengan kedua tangannya kemudian berdiri.

"Sudah. Saya sudah menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Sekali lagi terimakasih atas ilmunya hari ini. Saya harap bisa bertemu Anda kembali untuk berbagi ilmu." Bastian tersenyum dan berdiri. Dia lalu membungkukkan badannya untuk memberi hormat kepada Tari.

"Baiklah aku harus pergi sekarang. Semoga kita bisa bertemu lagi dilain waktu." Tari mengambil tas jinjingnya kemudian meninggalkan Bastian berdiri sendirian didalam caffe. Wajah Bastian memang masih menyimpan banyak pertanyaan. Bastian berharap bisa bertemu lagi dengan Tari.

******

"Apakah tempatnya masih jauh ?" Ardi bertanya kepada Arya yang duduk disampingnya. Ardi tengah menyetir mobil dengan wajah fokus menatap pada jalanan yang ramai kendaraan.

Saat ini mereka berdua sedang ada di Bandung. Mereka menelusuri tempat-tempat yang Mel ceritakan. Hari ini mereka akan pergi ke studio foto yang mengabadikan momen pernikahan Arya dan Mel. Studio foto ini berkolasi di pusat kota Bandung.

Saat kecelakaan itu terjadi Mel dan Dahlia memang pergi untuk mengambil hasil foto pernikahan. Lalu kemana foto itu ? Foto itu telah hilang saat kecelakaan tiga tahun lalu. Semua foto yang dicetak dan softcopy hilang jatuh kedalam jurang. Semua kesimpulan itu diambil karena tidak ditemukannya barang-barang tersebut ditempat kejadian.

Kembali kepada Arya dan Ardi yang sedang ada di Bandung. Ardi tetap fokus pada jalan ramai didepannya. Sedangkan Arya sibuk menyisir pandangan pada pinggiran jalan untuk menemukan studio foto yang akan mereka kunjungi.

"Kalau macet kayak gini paling sekitar 10 menitan." Arya melihat arloji yang ada ditangan kirinnya.

"Lo yakin ninggalin Mel sendirian dirumah itu aman ?" Ardi sesekali melirik Arya dan kembali fokus pada jalan.

"Selama langkah kita tidak dibaca oleh dia (pembunuh), gue yakin gak masalah. Justru akan mencurigakan jika kita mengajak Mel. Karena target dia itu Mel dan bukan gue. Jadi gue yakin dia akan lebih fokus pada Mel." Arya menjelaskan dengan menoleh kearah kanan memastikan studio foto yang menjadi tujuan mereka .

Tiga tahun lalu Arya datang kesini dan banyak yang berubah. Jadi Arya harus jeli melihat barisan bangunan yang berjejer ditengah keramaian kota Bandung.

Lihat selengkapnya