Nana menyetir mobil dengan air mata yang terus mengalir. Nana menuju apartment milik orang tuanya dengan mengendarai mobil sendiri. Awalnya Ajang meminta sopir mengantarnya. Tapi Nana tidak mau dan bersikeras membawa mobil sendiri ke apartment. Ajeng tidak menghalangi keinginan Nana karena dia takut Nana menjadi murka dan justru melakukan hal nekat. Bagi Ajeng memarahi Nana seperti tadi sudah cukup membuatnya kasihan. Ajeng tidak ingin terlalu keras kepada Nana yang memang memiliki watak keras kepala.
Nana berhenti diperempatan lampu merah. Dia menatap jalan dengan amarah yang menguasai dirinya. Tangannya menggenggam setir dengan keras sehingga kuku-kukunya menjadi putih seperti tidak memiliki darah.
Nana terus berjalan dengan lambat. Meski hatinya sakit dan emosi memuncak tapi Nana masih bisa berpikir jika berkendara ugal-ugalan akan membuatnya celaka.
Nana dari kejauhan melihat Mel yang keluar dari sebuah apotek. Hati Nana begitu sakit dan emosinya semakin memuncak melihat Mel dengan tangan diperban. Mel tampak akan menyebrang jalan. Melihat hal itu Nana memacu kendaraan lebih kencang. Dia menginjak gas seperti orang kesetanan. Targetnya adalah Mel yang akan menyeberang jalan.
Jalanan disekitar sangat sepi dan sempit. Jalan ini adalah jalan alternatif yang jarang dilalui kendaraan. Karena merasa frustasi membuat Nana hanya berputar-putar untuk membuat hatinya lega.
Suara mobil kencang datang dari arah kiri Mel yang belum disadari olehnya. Mobil itu semakin dekat dan Mel menoleh. Mel sangat terkejut melihat mobil yang melaju kencang kearahnya. Otak Mel langsug bekerja dan berusaha menghindari mobil yang sepertinya sengaja ingin menabraknya.
Mel melompat pada trotoar membuatnya jatuh dan obat yang dibelinya berserakan. Orang-orang disekitar berkerumun dan membantu Mel. Mobil Nana sempat berhenti untuk melihat dari kaca sepion. Nana tersenyum licik melihat Mel tersungkur diatas trotoar. Setelah melihat beberapa orang berlari menghampiri dia langsung tanjap gas.
Mel merasakan sakit pada sikunya. Dia sempat melihat plat nomor kendaraan yang hendak menabraknya. Dia tahu jika mobil itu milik mertuanya. Dia juga yakin jika yang ada dibalik kemudi adalah Nana.
******
Tari menekan-nekan bel di depan pintu apartemen. Wajahnya tampak kesal karena pemilik apartemen tak kunjung membuka pintu. Tari semakin kencaang menekan bel apartemen hinga bunyinya mengganggu pemilik rumah.
"Heeeiii... Kentang lo bakal ngerusakan bel gue." Maron membuka pintu dan memegang telinganya.
"Lama lo." Tari langsung menerobos masuk dengan kesal. Dia langsung melemparkan tubuhnya pada sofa panjang bewarna coklat tua. Sedangkan Maron langsung menuju dapur untuk mengambil sesuatu. Maron tahu jika sahabatnya itu sedang kesal.
Maron kembali dengan membawa sekotak kentang goreng dan jus jeruk. Meski sudah sore tapi udara sangat panas sejak siang tadi.
"Nih... Makan dulu." Maron meletakkan kentang goreng dan jus jeruk diatas meja yang langsung disambar Tari.
"Pelan-pelan makannya kentang." Maron memperingatkan karena melihat Tari makan seperti orang kesetanan. Mengunyah kentang goreng dengan cepat dan langsung menelannya dan meminun jus jeruk sampai tumapah-tumpah.
"Gue kesel banget sama Dana." Tari mulai bercerita setelah meletakkan segelas jus jeruk yang tinggal setengah gelas. Maron tidak perlu bertanya apa yang terjadi karena dia tahu kebiasaan sahabatnya itu. Tari akan bercerita jika hatinya mulai tenang. Ketenangaan hati Tari datang dari kentang goreng. Tidak salah memang jika Maron selalu memanggilnya kentang saat sedang berdua seperti sekarang ini dan Tari tidak menolak.
"Hem." Maron hanya mendengarkan dan meletakkan tubuhnya pada sandaran sofa disamping Tari sambil melipat kedua tangannya.
"Dena tu keterlaluan banget tahu gak sih. Masak tadi gue lihat dia sengaja buat Mel kena air panas." Mata Maron melebar dan mengangkat tubuhnya mendekat pada Tari.
"Maksudnya gimana ? Gue masih gak ngerti." Maron meminta penjelasan lebih kepada Tari. Karena mulut Tari masih penuh dengan kentang goreng membuat Maron harus menunggu lebih lama.
"Gue tadi rencana mau kerumah Arya buat ketemu Mel. Tapi gue lihat ada mobil tante Ajeng dan gue udah cepat-cepat masuk buat ketemu tante Ajeng Tapi malah gue lihat Dena nyakitin Mel. Gue rekam aja dan gue kasih ke tante Ajeng biar tahu rasa dia." Tari kembali melahap kentang goreng. Maron hanya diam dan kembali menyandar pada sofa.
"Gue kira dia cuma goda Arya doang. Ternyata berani juga dia buat celakain Mel." Mendengar hal itu Tari menghentikan kegiatan makannya dan menoleh kearah Maron yang ada disebelah kirinya.
"Jadi lo tahu kalau Dena suka goda-godain Arya ?" Tari melotot meminta penjelasan.
"Itu udah lama. Arya dulu cerita sama gue." Jawab Maron santai.
"Kok Arya gak cerita sama gue sama Mel juga."
"Mel udah tahu. Sebelum menikah Arya cerita semuanya ada gue juga." Tari merasa marah karena hanya dia yang tidak diberi tahu.
"Kalian ngeselin banget sih. Masak gue gak tahu." Tari berteriak kesal dan meletakkan kentang goreng dimeja.
"Arya punya alasan kali kenapa dia gak cerita sama lo." Tari menoleh lagi.
"Apa alasannya ?" Maron meraih remot yang ada diatas meja dan menyalakan televisi.
"Karena lo kan dekat dan sering ngbrol sama tante Ajeng, Arya khawatir lo keceplosan. Lo kan suka keceplosan kalau lagi asik ngobrol. Arya gak mau hubungan keluarganya renggang cuma gara-gara masalah sepele."
"Lo bilang ini sepele ?" Tari memelankan nada bicaranya yang penuh penekanan.
"Sudahlah toh tante Ajeng juga udah tahu. Gue yakin masalahnya pasti udah kelar." Mereka saling diam tak bersuara. Tari sibuk menikmati kentang goreng dan Maron duduk santai menatap layar televisi.
******
"Maaf aku akan sedikit terlambat." Arya diam mendengarkan suara dibalik telefon.
"Iya, kalau ada orang gak dikenal datang jangan buka pintu sebelum aku pulang. Baiklah. Assalamualaikum." Arya memutus sambungan telepon dan memasukkan ponsel kedalam saku dalam jasnya.
"Gue tenang kalau mbak Ida sama Adam dirumah. Mereka bisa jagain Mel." Arya menoleh kearah Ardi yang sedang menyetir.
"Syukurlah kalau begitu. Tapi gue heran Ar. Lo sama Mel itu selalu dikelilingi orang baik dan gue yakin lo juga orang baik." Ardi diam sejenak dan dia mengusap kumis tipisnya dengan jari telunjuk sebelah kanan. Tangan kirinya memegang setir dan tangan kananya bertumpuh pada pintu mobil.
"Gue heran kenapa ada orang yang mau jahatin lo dan Mel. Apa lo punya kesalahan dimasa lalu mungkin ?" Arya tampak bingung. Dia mengingat- ingat apakah dia punya salah. Tapi setelah diingat-ingat memang dia tidak punya salah.
"Seingat gue memang gue gak pernah ada salah sama orang. Tapi..." Kalimat Arya menggantung membuat Ardi penasaran.
"Tapi apa ?" Arya mengingat-ingat mimpi yang selalu mengganggunya belakangan ini.
"Belakangan ini gue sering mimpi didatangi cewek bule." Ardi tertawa terbahak mendengar cerita Arya.
"Bhahahahahah... Gue udah tegang lo malah ngebanyol. Gue juga sering mimpi sama bule seksi dipinggir pantai pakai..." Ardi menghentikan kalimatnya. Sepontan Arya menoleh.
"Mesum lo." Ardi hanya terkekeh melihat Arya. Sebenarnya Ardi tidak pernah bermimpi seperti itu. Dia hanya menggoda Arya.