"Thank you, Kaak!" Intan kegirangan, akhirnya ia mendapat tanda tangan penulis favoritnya. "Akhirnya... ya ampun, segala ngasih notes lagi. Baik banget Kak Lola."
"Udah puas?" sahut Dewa cuek. "Habis ini jangan neror gue lagi ya. Jangan ganggu treadmill dan tidur gue lagi."
Intan cengar-cengir. "Iya, Abaaang..." kata Intan sok manis. "Hari ini ada syuting?"
"Nggak ada, " jawab Dewa seraya mengenakan jam tangan. "Gue mau ke kafe cabang Bogor. Ikut?" tawarnya.
Intan menggeleng. "Gue ikut aja pas syuting ya," pintanya.
"Nggak boleh, entar lo resek."
Seketika wajah Intan berubah cemberut. "Ish, emang gue anak kecil?!"
Sambil menyisir rambutnya, Dewa melihat Intan dari pantulan cermin. "Lagian Lola nggak selalu datang pas syuting, kan dia juga kerja. Kapan-kapan aja kalau mau ketemu. Kan lo juga lama di sini."
Senyum Intan kembali. "Bener ya. Awas lo kalo ngibulin gue."
"Iyaaa... Anak Kecil!" ujar Dewa. "Lo kalau mau sarapan ada sosis di kulkas ya. Kalau mau roti ada di lemari. Gue balik agak sore," pesan Dewa sebelum berangkat.
Ponsel Dewa berdering saat ia tengah memanaskan mobilnya di basement. Layarnya yang menyala terang dalam gelapnya basement membuat Dewa menggeram frustasi. Lagi-lagi papanya menelepon. Dewa sangat enggan menjawab, karena pasti Papa akan marah-marah lagi padanya. Demi menjaga mood paginya, apalagi sebentar lagi Dewa harus bertempur menyelesaikan masalah, Dewa mengabaikan panggilan telepon itu. Setelah mati, Dewa menonaktifkan ponselnya.
Sudah seminggu terakhir ini ketenangan hidup Dewa terusik. Kali ini bukan gara-gara Intan, melainkan teror papanya. Bukan tanpa alasan Papa Dewa meneror putranya, melainkan karena masalah yang terjadi di Memories Coffee and Eatery cabang Bogor. Semua ini dimulai saat seorang pelanggan memberikan review jelek di internet tentang rasa kopi dan cake yang mengalami perubahan. Review itu diamini oleh beberapa pelanggan. Memang tak banyak, namun cukup berdampak pada penurunan jumlah pelanggan dan omset cabanb Bogor. Sialnya, Dewa terlambat menyadarinya karena sibuk dengan project seriesnya.
"Gimana sih kamu?! Cabang kafe kita itu nggak banyak, lho. Papa cuma kasih kamu urus cabang Jakarta, Bandung dan Bogor. Gitu aja kamu kecolongan. Gimana Papa mau percayakan kamu pegang seluruh cabang?! Makanya mengelola usaha itu yang fokus, jangan disambi-sambi. Ini malah disambi jadi produser series murahan!" sembur Papa melalui telepon semalam. "Papa kasih kamu waktu seminggu buat beresin masalah ini. Kalau dalam waktu seminggu belum ada kenaikan omset, Papa akan turun tangan!"
Dewa menghela napas, mencoba menyingkirkan gema amarah Papa semalam yang membuatnya stres. Padahal project yang dikerjakannya juga demi kemajuan Memories Coffee and Eatery.
***
Informasi di internet tentang rekomendasi tempat nongkrong estetik di Bogor itu ternyata benar. Memories Coffee and Eatery cabang Bogor memang sebagus gambar-gambar yang tersebar di internet. Berbeda dengan Memories cabang Jakarta yang bangunannya bergaya minimalis, Memories cabang Bogor ini bangunan dan perabotnya bergaya vintage. Bangku-bangkunya terbuat dari kayu berpelitur sewarna kayu, sofanya terbuat dari anyaman dengan bantalan empuk, dindingnya sebagian bercat kuning pastel dan sebagian berlapis anyaman, lantainya pun tampak seperti terbuat dari kayu.
Kafe ini juga tidak menggunakan AC seperti di Jakarta. Jendela-jendelanya yang terbuka lebar cukup mengalirkan udara segar. Sementara di luar jendela dan outdoor lantai dua, terbentang pemandangan gunung dan perbukitan kawasan Sentul. Sungguh tempat mencari ketenangan dan inspirasi yang sempurna. Hanya saja tempat ini agak sulit dijangkau kendaraan umum, dan entah bagaimana rasa kopi vanilla latte dan japanese cheesecake-nya berbeda juga dengan cabang Jakarta. Mungkin karena orang yang membuatnya juga berbeda. Tampaknya koki dan barista cabang Jakarta lebih kompeten dibanding cabang Bogor.
Lola sedang menulis novel barunya. Ia sudah hampir menyelesaikan dua BAB sejak duduk di kafe ini dua jam yang lalu. Suasana nyaman dan musik klasik yang mengalun lembut di kafe membuat inspirasinya mengalir lancar. Jemarinya terus saja mengetik walau sudah mulai terasa pegal hingga ia harus meregangkannya beberapa kali. Memang kenyamanan tempat memengaruhi suasana hati, dan suasana hati yang bagus menghasilkan inspirasi yang tak ada habisnya. Ia bahkan sudah memesan matcha latte setelah menandaskan segelas vanilla latte.
Dua bab telah selesai Lola kerjakan. Sekali lagi, Lola meregangkam jemari, punggung dan lehernya yang mulai terasa pegal. Sebelum mengunggah di Lovestory.com, Lola membaca ulang tulisannya terlebih dahulu.
Kali ini Lola kembali menulis genre commedy romantic. Bisa dibilang, Dewa lah yang jadi inspirasinya. Karakter khas cowok itu dan beberapa waktu kebersamaan mereka memunculkan sebuah ide di kepala Lola yang harus segera ia tuangkan sebelum hilang begitu saja.
Kalau Dewa tahu dirinya juga kena dijadikan novel gimana ya? Lola senyum-senyum sendiri memikirkannya.
Dua bab novelnya sudah diunggah ke Lovestory.com, bab ketiga sudah selesai ditulis dan akan diunggah hari Sabtu mendatang. Tinggal beres-beres, lalu pulang. Nggak enak juga nongkrong kelamaan begini.
"Kenapa susunya pakai merek ini?! Bukannya kamu udah tahu kita selalu pakai merek yang sama?! Terus kenapa kamu ubah juga krimernya?! Pantas aja rasa latte di kafe ini beda!"
Lola yang sudah beranjak dari bangku berhenti sejenak mendengar keributan. Ia memang memilih tempat agak memojok dekat dapur yang jarang ada lalu lalang pelanggan. Sepertinya seorang barista sedang dimarahi.
"Maaf, Pak. Saya cuma menggunakan bahan dari Pak Tommy. Untuk takarannya masih sama kok, Pak," jawab si Barista takut-takut. "Pak Tommy bilang itu dari pusat."
"Mana ada pusat kirim barang kayak gini! Kan kamu tahu cabang Bogor beli sendiri bahan-bahannya sesuai ketentuan!"
Lola yang penasaran, juga mengenal suara teriakan itu mengintip dari jendela dapur. Rupanya memang Dewa, si pemilik kafe, yang sedang marah-marah. Dewa yang narsis, agak konyol tapi asyik diajak ngobrol itu serem juga ya kalau marah.
Dewa mengusap wajahnya yang garang dan menghela napas, sadar tak ada gunanya melampiaskan kemarahan ke Barista yang hanya menjalankan tugas. "Mana si Tommy?" Nada suaranya menurun saat bertanya, tapi masih terdengar menyeramkan.
"Pak Tommy belum datang, Pak."
Wajah Dewa kembali garang. Tapi kali ini ia tidak berteriak, melainkan menggerutu. "Ini udah siang dan bisa-bisanya si Tommy belum datang." Ia kembali berkata pada Barista yang tampak ketakutan setelah menerima semburan amarah. Kasihan juga dia. "Ya udah, sana kerja lagi."
"Baik, Pak. Permisi."
Dewa kembali mengusap wajah dan menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. Setelah cukup tenang, ia melangkah keluar dari dapur.
"Dewa," Lola memanggilnya.
Dewa menghentikan langkah dan duduk di depan Lola.