"Sayang, aku minta maaf."
Lola menghentikan langkahnya di luar gedung.
Dewa meraih pundak Lola dan membalik tubuh perempuan itu. "Aku minta maaf, Sayang," ulangnya.
Lola melepaskan tangan Dewa. "Buat apa?! Sembunyi-sembunyi nemuin mantan pacar kamu di belakang aku, hah?! Kapan kalian ketemu?"
"Hari Senin malam," aku Dewa. "Tapi sumpah La, kita cuma ketemu doang. Rame-rame juga kok sama Tara dan Reza."
Sebenarnya Lola masih belum puas dengan serangannya pada Dewa. Rasa kesal, cemburu dan takut masih menyesakkan dadanya. Namun ia juga merasa konyol jika cemburu berlebihan. Toh Dewa tidak hanya ketemuan berduaan dengan Irene, melainkan ramai-ramai dengan yang lain. Lagipula, Lola meyakinkan lagi dirinya sendiri, posisinya lebih kuat daripada Irene. Semenarik apapun Irene dan sekuat apapun Tara ingin Dewa dan Irene balikan. Dewa juga tampak menyesal, dan Lola yakin Dewa tidak sedang berakting.
"Maafin aku ya, Sayang. Tolong jangan cemburu sama Irene. Aku dan dia udah selesai dan nggak mungkin kita balikan." Dengan wajah memelas, Dewa memohon pada Lola yang tidak bergeming.
Lola menghela napas, mencoba menyingkirkan perasaan-perasaan negatif yang masih memenuhi hatinya. Sesungguhnya ia sendiri pun tidak ingin putus dari Dewa. Ia begitu menyayangi lelaki itu.
Lola mengangguk. "Janji ya?"
Dewa tersenyum, tampak lega. "Iya, Sayang. Aku janji."
***
"Kak, Mama barusan nelepon. Minta gue datang ke Surabaya," kata Intan. "Kangen katanya."
Dewa melepas sebelah headsetnya. "Ooh, ya udah. Lagian masa iya lo mau di sini terus sampai liburan kelar," jawabnya sambil belari kecil di atas treadmill. "Terus kapan lo mau kesana?"
"Lusa paling. Lo nggak ikut? Mama nanyain lo juga."
Dewa berpikir sejenak. "Gimana ya? Pengen sih, tapi kafe lagi rame dan nggak bisa gue tinggal. Terutama cabang Sentul. Tahu sendiri kan."
Sejak penayangan serial 'Memories Coffe and Eatery' dan penambahan menu baru kopi klepon, jumlah pengunjung kafe terus meningkat. Bahkan cabang Sentul dan Jakarta kewalahan sampai harus membuat tenda dan tempat duduk tambahan untuk waiting list. Papa Dewa begitu puas oleh kabar kemajuan kafe yang dikelola putranya dan kagum akan ide Dewa yang semula dianggap berlebihan itu. Beliau bahkan berpikir untuk membuat series yang berlatar di kafe cabang Surabaya dan Malang.
"Hmm oke deh. Besok lo mau ke Sentul lagi?"
"Iya."
"Gue ikut dong. Ajak Kak Lola sekalian ya."
"Iya oke, udah sana jangan ganggu," usir Dewa seraya kembali memasang headsetnya dan bersiap menyetel musik.
Intan tersenyum iseng. "Harusnya lo ikut tahu kak, sekalian lo kenalin Kak Lola ke Mama sama Papa."
"Nanti pasti bakal gue kenalin kok. Tapi ya nggak sekarang-sekarang juga. Nanti Mama sama Papa kaget lagi nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba gue bawa cewek."
" Nggak kok, orang Mama sama Papa udah tahu."
Alis Dewa bertaut, ia batal menyetel musik. "Kok bisa? Lo cepu ya?"
Bukannya menjawab, Intan malah senyum-senyum menyebalkan.
"Dasar tukang cepu dari zaman zigot. Makanya gue sebel sama lo," gerutu Dewa.
Biasanya Intan akan kesal kalau dibilang tukang cepu alias tukang ngadu. Namun kali ini ia tampak tak peduli.
"Terus apa kata Mama sama Papa?" Walau sebal Intan lebih dulu bocor ke orang tuanya kalau Dewa punya pacar, ia penasaran juga.
"Mama sih approve."
Dewa tersenyum senang sambil terus berlari kecil di atas treadmill. Yang di mata Intan kelihatan seperti senyum bangga cenderung narsis.
"Iya iya, si paling pinter milih cewek!" ujarnya.
"Iya lah," sahut Dewa sok cool.
***
Mata Lola berbinar saat melihat pemberitahuan yang baru masuk. Sebuah e-mail masuk dari salah satu penerbit mayor, berisi tawaran bagi novel 'Magical Coffee and Eatery' untuk diterbitkan dan dicetak secara masal. Tawaran seperti ini memang bukan yang pertama kali bagi Lola. Tapi setelah mati suri cukup lama, tawaran terbit untuk karyanya merupakan kabar yang begitu membahagiakan.
"What now?" tanya Ihsan seraya mengenakan jaket dan bersiap pulang. Akhir-akhir ini Lola sering tampak kegirangan mendadak.
"Novel gue ditawarin terbit!" Lola menahan suaranya agak tidak menjadi teriakan heboh. "Oh my God, padahal gue belum pernah kirim ke penerbit."
"Yang mana?"