Memories of Archtier

Amni Vora
Chapter #1

Pintu Ruang Dosen

"Brissia Niverte, empat puluh."

Rasa kantukku sirna begitu namaku disebut lantang di depan. Karena aku duduk di baris teratas, dapat kulihat bagaimana diriku menjadi pusat perhatian seisi ruangan. Awalnya, aku tak mengerti arti tatapan prihatin mereka. Hingga ....

"HAAH!?"

... Aku sadar, bahwa namaku bukan satu-satunya yang mereka dengar.

Pekikan spontanku membuat puluhan mata di ruangan itu melebar. Hanya sepasang mata milik laki-laki berkemeja hitam dengan rambut cokelat rapi di depan papan tulis putih yang tetap datar. Ekspresinya acuh tak acuh setelah menjadi tersangka dari rasa prihatin yang tiba-tiba meluap di ruangan berukuran sedang dengan kursi kayu bertingkat. Andai ia bukan orang yang ditugaskan pihak fakultas untuk menjadi seorang asdos—asisten dosen pengajar mata kuliah, mungkin ia sudah kutahan keluar di saat semua orang tengah berjalan menuju pintu ruangan.

"Niko, Ji!"

Sebagai gantinya, kutahan satu laki-laki dan satu perempuan yang baru saja bangkit dari kursi sebelah kanan. "Kalian, kok, gak bangunin gue?!"

"Lah, kita udah gantian bangunin lo," yang laki-laki, Niko, bercelatuk dengan nada yang meningkat secara bertahap, "Tapi lo inget kebaikan gue lo balas apa?"

Gelenganku seketika membuat Niko dan perempuan di sampingnya, Ji, kompak menatapku datar.

"Tamparan," lanjut Niko sambil menunjuk pipi kirinya sejenak sebelum mengisyaratkanku untuk ikut beranjak bersama mereka.

Mulutku terbuka lebar. Hingga telah berjalan menuruni undakan kelas pun, rasa tidak percaya masih singgah di benakku seiring lamanya aku menatap rona merah di pipi Niko.

"Pft! Lo mimpi apa juga sampai bisa nampar orang?" Ji mendengus menahan tawa begitu kami menginjak koridor fakultas, menyipitkan matanya seakan-akan tindakan konyolku ada di depan matanya.

Tidak langsung kujawab pertanyaannya. Sebenarnya, aku tidak bermimpi tengah berada di tengah-tengah perkelahian atau pun sejenisnya. Sebaliknya, aku hanya berdiri di tengah-tengah sebuah kota tua yang dipenuhi orang-orang berpakaian rapi seperti di film klasik Barat. Harmoni percakapan orang dewasa dengan riuh tawa anak-anak yang belum pernah kudengar sebelumnya menanamkan perasaan hangat sekaligus rindu yang membara di dalam benak. Sungguh sebuah pengalaman yang misterius, tapi begitu kudambakan.

"Eh, Bris! Lo mau ke mana?!" Niko berseru saat aku melangkah lebih cepat dari mereka. Maklum, aku tidak berkata apa-apa dan langsung meninggalkan mereka seolah-olah aku sedang marah.

"Mau ketemu penjaga neraka!" seruku balik.

"Apa?!"

Sejumlah pasang mata tak henti-hentinya menatap kami antara heran dan kesal. Yah, wajar saja. Aku, Niko, dan Ji sudah terbiasa saling menyahut ucapan satu sama lainnya terlepas dari jarak yang memisahkan kami bertiga. Aku pun tak setenang yang kalian bayangkan. Mau bagaimana lagi, dunia yang kuhadapi bergerak begitu cepatnya. Andai bisa memperlambatnya sedetik saja, atau berada di belahan dunia di mana setiap momen berdurasi cukup panjang untuk dijadikan rentetan kenangan, pasti akan terasa menyenangkan.

Akhirnya setelah sepuluh kali tarikan napas, aku memelankan langkah. Di depanku, orang yang sama dengan yang menyerukan namaku di samping angka pembawa sial tengah berjalan dalam kecepatan normal. Meski demikian, jangan tertipu dengan ketenangannya. Kalian akan tahu mengapa aku menjulukinya 'penjaga neraka'.

"Permisi, Kak."

Satu kali panggilan dariku tidak berhasil menghentikannya.

"Kak?"

Saat aku melangkah ke sampingnya dan kembali bersuara, anehnya ia justru mempercepat langkahnya.

"Woi, Kak!"

Dengan kesal, kucengkeram ujung kemejanya. Laki-laki berambut cokelat dan bermata hazel itu menoleh terkejut ke arahku sebelum kemudian menatapku tajam. Ah, sayatan pertama yang kudapat bahkan sebelum aku mengangkat pedang. Tapi demi sebuah kemenangan, selalu ada harga yang dibayar di muka, kan?

Lihat selengkapnya