“Hah …!”
Aku menghela napas kasar sambil duduk bersandar di dinding sebuah bangunan toko yang sudah tutup. Hingga cahaya langit meredup, tidak ada satu pun orang yang bisa membantuku menemukan jalan pulang ke kampusku. Sebelum ponselku benar-benar mati, aku sempat membandingkan peta umum yang kutemui dekat sungai dengan peta dunia digitalku.
Archtier. Begitulah judul peta dari sebuah wilayah yang tidak ada di belahan dunia mana pun. Meski konyol memercayai diriku terlempar ke sebuah wilayah misterius berlatar abad ke-20, ketidakpastian jarak dari tempat ini ke kampusku begitu mengusikku. Bagaimana jika untuk kembali ke masa depan, ada belasan bulan atau mungkin ratusan tahun yang harus ditempuh seperti jarak dari luar angkasa ke bumi?
“Mama!”
Jeritan seorang gadis kecil bersumber dari jembatan yang dihiasi lampu jalan antik. Aku berjalan menuju jembatan itu dengan langkah biasa saat orang-orang di sekitarku tampak menghampiri sumber suara dengan buru-buru. Kupikir ada baiknya aku tidak ikut campur dan sekadar memuaskan rasa penasaranku. Tapi begitu aku sampai di tengah-tengah kerumunan yang membeku … kutemukan satu alasan untuk mematahkan keyakinanku saat itu.
Gadis kecil itu bergelantungan di pagar jembatan, di atas perairan yang bergerak dalam sunyi. Wajah ketakutannya menggerakkan tubuhku untuk terus maju dan bibirku berkali-kali mengucap ‘permisi’ pada kerumunan yang menghalangiku.
“Tolong selamatkan anakku!”
Tak kuhiraukan permohonan dramatis seorang nyonya berbusana elegan yang ditahan sejumlah orang untuk mendekatiku. Sambil menuruni pagar jembatan dan membiarkan udara dingin menerpaku, aku mengulurkan tangan pada gadis kecil itu. “Pegang tanganku!”
“K-kak,” gadis kecil itu bercicit dengan air mata berlinang di pipi, “aku takut ….”
Tubuhnya membeku seolah-olah dinginnya uap air telah memeluknya lebih dulu. Karena itu, aku menuruni pagar jembatan lebih bawah lagi dan merengkuh pinggang gadis kecil itu.
“Jangan lihat ke bawah. Lihat saja wajahku, oke?”
Mengangguknya gadis kecil itu secara kaku mengantarkan sedikit kelegaan ke dalam benakku. Aku menyuruhnya naik lebih dulu begitu aku telah mendekati lantai jembatan karena kepalaku tiba-tiba berdenyut. Dalam benakku dan melalui pandanganku yang kabur, aku terus berharap agar vertigo misterius ini tidak datang di saat-saat genting. Namun, doaku tidak terkabul.
Genggamanku melesat dari pagar jembatan tepat saat kerumunan mengamankan gadis kecil itu. Bersamaan dengan mereka yang menjerit dan melotot padaku, seorang laki-laki melompati pagar pembatas ke arahku. Ah, dasar pahlawan kesiangan. Kenapa datangnya tidak sejak tadi sebelum tubuhku akan jatuh?
Byur!
Arus bawah yang sangat kuat mengejutkanku. Namun, sepasang lengan yang sedikit lebih kekar tiba-tiba merengkuh pinggangku. Bersamanya yang menarikku ke permukaan air, aku terus mengayuh kakiku agar setidaknya meringankan beban orang yang sepertinya adalah si pahlawan kesiangan tadi.
Riuh kagum mengiringi sejumlah warga yang membantuku dan laki-laki di sampingku naik dari permukaan air ke tepi sungai. Setelah menahan napas di air yang dinginnya minta ampun itu, aku hanya bisa memegang lututku sambil menggigil. Walau tak sedang mengangkat wajahku, aku yakin keberadaanku saat ini tidak kalah mencoloknya dari wanita berjubah abu-abu yang ditangkap tadi.
“Hei, kau tidak apa-apa?”
Suara jernih yang menenangkan itu membuatku menoleh ke samping. Berkat seberkas cahaya lampu jalan yang redup, aku mampu melihat rambut pendek si pahlawan kesiangan yang basah kuyup. Pundaknya naik-turun. Lalu ... ia juga mengenakan seragam biru.
“Ya,” sahutku sambil mengangguk, “terima kasih.”
Baru saja meluruskan kepalaku, tiba-tiba gadis kecil yang kuselamatkan tadi memeluk lututku. “Terima kasih, Nona Penyelamat yang baik hati!” serunya sambil menatapku dengan wajah berseri-seri.
Mataku berkedip. Aku pun tidak lagi menggigil. Lucunya gadis kecil itu. Ia tampak seperti bunga sedap malam yang bersemi. Namun, saat kehangatan dari senyumnya baru saja mengalir ke dalam tubuhku, nyonya dramatis yang meminta gadis ini diselamatkan tadi merenggutnya begitu saja dengan memelukku.
“Ya ampun! Terima kasih banyak sudah menyelamatkan putri semata wayangku!” seru wanita itu hingga membuat telingaku berdenging. “Kau benar-benar mengingatkanku pada wanita itu!”
Mengesampingkan keherananku akan siapa yang ia rujuk, aku mendorongnya perlahan sambil berkata, “B-bisa Anda tolong mundur sedikit?”
Entah hanya perasaanku atau karena tubuhku baru saja menerima syok dari jatuh ke air, pelukan wanita itu tidak terasa tulus. Erat, pasti, tapi seakan-akan ia sedang ingin meremukkanku. Hingga kemudian, aku mendapatkan jawabannya saat ia berbisik ke telingaku.
“Berkatmu, rencanaku gagal total.”
Dinginnya air sungai seakan-akan kembali membekukan tubuhku. Tapi untungnya, tak sampai sedetik setelah sang wanita mengucapkan itu, laki-laki berseragam biru berhasil memisahkan kami meski jadi harus meninggalkan nyeri di bahuku.