Saat matahari mengintip malu-malu, aku justru memberanikan diriku untuk keluar kantor redaksi tanpa mengabari Gabriel. Itu karena Neya, yang sekamar denganku, tiba-tiba membangunkanku dan berkata bahwa Harris ingin bertemu denganku di jembatan tempatnya menyelamatkanku sebelum pukul tujuh.
Yah, aku tidak masalah, sih, keluar pagi-pagi. Tapi jika aku tahu Jembatan Bunga akan ramai pejalan kaki—bahkan sebelum matahari terbit—aku akan meminjam topi atau sesuatu yang dapat menghindarkanku dari perhatian publik.
“Nona Brissie!”
Panggilan keras suara jernih dari jembatan membuat tidak hanya diriku, tapi juga sejumlah orang menoleh cepat ke sang pemanggil. Harris, laki-laki dalam busana hangat disertai mantel panjang yang sedang berdiri di samping pagar jembatan itu, nyaris tidak kukenali hingga ia menyengir kecil. Mau tidak mau, rayuannya semalam berputar di otakku.
Begitu aku berdiri di hadapannya, Harris mengangkat tas kanvasku dan bertanya dengan senyum manis, “Ini, kan, milikmu?”
“Iya,” jawabku dengan senyum tipis. “Terima ka—”
Tanganku menggantung di udara layaknya ucapanku ketika Harris tiba-tiba mengangkat tas kanvasku lebih tinggi. Ia tidak lagi tersenyum, melainkan menatapku dengan penuh selidik. Aduh, apa lagi?
“Aku menemukan perangkat elektronik yang sangat canggih di tasmu.”
Jantungku nyaris berhenti berdegup. Saat aku mengeluarkan ponsel untuk mengecek peta dunia modern, tak satu pun orang melirikku atau menanyaiku. Mereka bahkan tampak seperti orang-orang modern yang terbalut busana klasik dan sedang berwisata budaya ke sebuah kota klasik. Itu pun seketika mengingatkanku pada ucapan Gabriel sehingga aku langsung menyahut Harris, “Memangnya kau tidak menemukannya di tas pendatang lain?”
“Apa?” tanyanya balik dengan alis mengerut. “Kau tahu apa yang sedang kau bicarakan, Nona Brissie?”
Aku mengangguk mantap sambil melirik tangannya yang tanpa sadar perlahan-lahan menurunkan tasku. “Aku pun tahu kalau yang menangkap pendatang berjubah abu-abu itu adalah teman-temanmu.”
“Hei.”
Harris menekankan ucapannya sambil maju hingga begitu dekat denganku, tapi itu tak lagi membuatku berpaling atau menunduk. “Kukatakan ini padamu bukan untuk menakut-nakutimu, tapi memperingatkanmu: Kau sudah tertangkap olehku, Brissie,” ia berbisik.
Kulirik lagi tasku yang semakin turun hingga tersisa sedikit lagi bagiku untuk mampu meraihnya dan merebutnya dari genggaman laki-laki di hadapanku.
“Dan jika kau sudah tertangkap olehku, maka tak mungkin kau akan ditangkap yang la—”
Set!
Benakku berseru girang saat raut wajahnya berubah terkejut akibat aku yang berhasil merebut tas kanvasku. Tapi sedetik setelahnya, Harris kembali mencengkeram tasku, membuatku mendongak cepat.
“Lepaskan tasku atau aku akan berteriak ‘maling’!” desisku sambil memelototinya.
“Dengarkan aku dulu!” ia membalasku dengan ketenangannya yang mulai luntur, “jika sampai SURVIVE menemukanmu hanya karena benda ini, maka tidak ada yang bisa menjaminmu kembali ke masa depan, bahkan aku!”
Tanganku tidak lagi berusaha merebut kembali tasku. Hanya satu kalimat yang muncul di otak begitu mendengar Harris berkata begitu: Bagaimana ia bisa tahu?
Belum sempat menanyakan itu, tiba-tiba bel sepeda onthel berbunyi. Nyaris terlambat bagi kami menghindari pesepeda yang kehilangan kendali jika tidak kudorong Harris ke samping. Meski demikian, gagang sepeda yang menyenggol bahuku ujung-ujungnya tetap merobohkan pertahanan diriku.
Harris menyipitkan mata sekilas saat punggungnya membentur jalanan berbatu rapi sementara telapak tangan kananku menggesek batu dan nyaris tergelincir. Jarak wajah kami yang hanya beberapa sentimeter membuatku dapat melihat iris matanya dengan detail.
Hazel …. Seperti miliknya, tapi yang satu ini tidaklah begitu dingin berkat cahaya lembut keemasan yang menyinarinya dari celah-celah pagar jembatan. Cahaya yang sama dengan yang menyambutku ketika pertama kali menginjakkan kaki di ruang ketik.
Kenapa … jantungku berdebar-debar seperti habis berlari? Apakah aku terpesona oleh momen yang membekukanku dalam waktu, atau oleh orang yang seolah-olah dapat menjadikan waktu tidak lagi berarti bagiku?
“Hei! Cepat bantu pesepeda itu!”
Seruan seseorang membuatku tersadar dari lamunanku. Buru-buru aku bangkit, tanpa sadar bahwa tanganku terluka hingga menyebabkanku gagal menopang diriku.