Jika Nala pikir masalahnya selesai saat Ibu Kosnya berhenti menagih uang tempo hari, ia salah. Pagi ini, Nala dikabari oleh pihak akademik jurusannya untuk bertemu dengan Pak Arif, Kaprodi Ilmu Perpustakaan universitasnya. Tanpa diberitahu maksud dan tujuan pemanggilan itu, Nala bisa menebak bahwa Kaprodi ingin membahas tentang uang kuliah Nala yang belum ia bayar. Apalagi, saat ini, sudah memasuki minggu-minggu menuju UAS.
Jadwal temunya dengan Pak Arif adalah siang hari. Untuk itu, setelah ia selesai kuliah di jam setengah dua belas, ia berjalan menuju kantor akademik, lalu menunggu di ruang tunggu yang ada di sana. Sekitar dua puluh menit selanjutnya, Nala dipanggil untuk masuk ke ruangan Pak Arif.
Nala pun masuk. Ia mendapati Pak Arif tengah duduk di kursinya, memandang ke arah pintu, lebih tepatnya ke arah Nala. Setelah dipersilahkan duduk oleh empunya ruangan, Nala pun menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Pak Arif.
"Begini, Nak Nala," ujar Pak Arif membuka percakapan. "Sekitar dua minggu lagi kita akan mengadakan UAS, dan sampai sekarang, Nak Nala belum ada tanda-tanda untuk membayar uang kuliah. Bagaimana ini?"
Nala menghela napas. "Saya belum punya uang, Pak."
"Kalau memang Nak Nala keberatan dengan biaya kuliah di universitas ini, kenapa Nak Nala tidak mencari beasiswa, atau bantuan keuangan yang lain?"
Nala tertunduk. Itu juga yang ia inginkan. Nala ingin mengajukan beasiswa, mencari bantuan keuangan lain untuk menyambung kuliahnya, namun, Nala tak mau. Mencari beasiswa, itu berarti membutuhkan data dan identitas orang tua Nala, dan Nala benci melakukan hal tersebut. Nala benci ayahnya.
"Waktu awal semester, Nak Nala minta keringanan. Akademik sudah mengabulkannya, dengan syarat Nak Nala harus mencicil atau paling tidak harus lunas sebelum UAS. Jika H-seminggu Nak Nala tidak membayar, Nak Nala bisa tidak ikut UAS. Kamu tahu kan, apa akibat mahasiswa yang tidak ikut UAS?"
Nala mengangguk. Sepenuhnya paham. Mahasiswa yang tidak ikut UAS, tidak bisa yudisium. Nilainya yang diperoleh selama satu semester akan sia-sia. Dan jika itu terjadi, Nala dianggap tidak kuliah selama satu semester.
Pihak akademik sebenarnya sudah memberi banyak keringanan pada Nala. Mereka bersedia mengulur tenggat waktu pembayaran uang kuliah sampai akhir semester. Mereka juga tak membebankan uang buku pada Nala. Namun, mereka pernah bilang bahwa jika Nala ingkar, Nala tidak bisa ikut UAS dan ia akan dikeluarkan dari kampus.
"Masalahnya saya tidak punya uang, dan kerjaan saya tidak bisa diandalkan untuk membayar uang kuliah, Pak."
Air mata Nala pecah. Entah mengapa, ia merasa menjadi orang yang gagal dan tak berguna. Hidupnya selalu dirundung masalah, tak pernah tidak. Hidupnya seakan penuh penderitaan, jauh dari kebahagiaan. Dan itu semua membuatnya tak mampu membendung air matanya lagi.
Melihat Nala yang menangis, Pak Arif beranjak dari kursinya. Ia berdiri di samping Nala, mengusap punggung perempuan itu sambil berusaha menenangkannya.
"Sudah, jangan menangis." Pak Arif mengusap punggung Nala. Ketika tangannya merasakan sebuah ganjalan di punggung Nala, entah kenapa otak pria itu mulai berkelana. Darah pria tua itu mulai panas dan mengalir dengan deras. Hingga tiba-tiba, "Saya bisa bantu kamu," ucap Pak Arif secara tiba-tiba.
Nala menyeka air matanya begitu mendengar kalimat tersebut. Ia mendongak menatap Pak Arif. "Serius, Pak?"
"Iya. Asal..."
Tangan Pak Arif mulai berhenti mengusap punggung Nala. Kini, tangannya beralih ke kepala Nala, membelai rambut perempuan tersebut. Seketika, tubuh Nala menegang. Ia merasakan ada sesuatu yang salah dari gerak tubuh kaprodinya itu. Terlebih, ketika Pak Arif mendekatkan kepalanya ke kepala Nala. Dan tanpa meminta ijin terlebih dahulu, bibir Pak Air langsung menyambar pili Nala.
Nala tersentak kaget. Ia buru-buru berdiri dan menjauh. Kedua tangannya ia tangkupkan ke dadanya, berusaha melindungi tubuhnya. Matanya yang tadi mulai kering kini kembali basah. Manik mata cokelat itu melayangkan sejuta pertanyaan pada Pak Arif atas apa yang pria tua itu lakukan barusan.
"Tenang... tenang." Pak Arif melambaikan kedua tangannya tanda menyuruh tenang. "Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin membantu."
"Tapi... Bapak melecehkan saya! Saya bisa laporkan hal ini ke Komnas Perempuan."
"Melecehkan?!" Pak Arif tertawa di ujung bicaranya. "Itu hanya ciuman. Kamu pasti sering melakukannya dengan pacarmu. Jangan sok suci!"