Malam harinya, sebuah pertanyaan mengusik Nala. Pertanyaan yang selalu ia tanyakan pada dirinya sejak mendengar penuturan Cahya. Haruskah ia bekerja seperti Cahya?
Jika alasan Cahya bekerja seperti itu karena ia sudah kehilangan keperawanannya, maka alasan itu juga seharusnya bisa membuat Nala bekerja seperti Cahya.
Nala kehilangan harta paling berharganya di usia tiga belas tahun, dan itu karena Faisal, ayahnya.
Kala itu, ia yang baru pulang dari sekolahnya, tiba-tiba saja dijemput oleh ayahnya di depan gerbang sekolah. Nala mengernyit kala itu, mengingat ayahnya tak pernah mempedulikannya apalagi sampai menjemputnya pulang sekolah. Ketika Nala bertanya, jawaban ayahnya kala itu adalah bahwa ayahnya ingin berubah. Dan ia ingin memulai dari hal-hal kecil seperti menjemput Nala ketika pulang sekolah.
Mendengar itikad ayahnya yang ingin berubah, Nala girang bukan main. Lima tahun belakangan, memang menjadi masa-masa paling suram buat ayahnya. Ayahnya yang dahulu memiliki restoran bercabang cabang, tiba-tiba saja bangkrut karena ditipu seorang koleganya. Ayah Nala yang stress, membuatnya beralih pada hal-hal yang negatif. Seperti berjudi dan mabuk. Ayahnya juga mulai malas untuk mencari kerja, alasannya karena ia tidak bisa bekerja kasar, sedangkan pekerjaan halus yang ia ingini, tak kunjung datang. Hal itu semakin membuat ayah Nala stress dan tempramental. Ayahnya makin sering memukul ibu Nala dan Nala hanya karena kesalahan sepele.
Dengan senyum tersungging di wajahnya, gadis itu naik ke jok belakang motor ayahnya. Ia memeluk ayahnya dari belakang, merasakan hangat badan ayahnya yang ia rindukan selama lima tahun kebelakang. Hingga Nala sadar bahwa ayahnya tak mengantarnya pulang.
Sepeda motor yang dikendarai Faisal ternyata berbelok menuju sebuah gang sepi, jauh dari arah jalan rumah Nala. Sepeda motor itu lalu berhenti di sebuah bangunan. Terlihat dari halamannya, bangunan itu sedikit tak terurus. Namun, di halamannya, terparkir berbagai macam moda transportasi. Dari mobil mewah, bis, truk, hingga sepeda motor.
Setelah memarkirkan sepeda motor, Faisal mengajak putrinya masuk. Nala yang tak tahu apa-apa hanya diam. Matanya menyapu sekitar dengan perasaan was-was. Ketika Nala masuk, Nala langsung dikejutkan akan apa yang ada di dalam bangunan itu. Bangunan tersebut adalah lokasi judi ayahnya. Di dalam bangunan tersebut, di tengah-tengah ruangan, terdapat meja bundar besar, dengan kartu poker di atasnya. Di sekeliling meja itu, terdapat pria-pria yang duduk menatap Nala dan Faisal. Lengkap dengan gadis-gadis berpakaian minim yang ada di samping pria-pria tersebut.
Perasaan Nala mulai tidak enak. Ia menarik tangan ayahnya, meminta pulang. Sayangnya, Faisal malah menarik tangan putrinya ke tengah ruangan. Mendudukkan putrinya di sebuah kursi di samping tempat Faisal duduk.
"Ini taruhanku."
Semua orang di ruangan itu menoleh ke arah Nala. Dan saat itu juga, Nala tahu bahwa dirinya di mata ayahnya, tak lebih dari sebuah harta benda. Nala dijadikan taruhan oleh ayahnya. Ketika harta benda di rumah mereka semua habis, kendaraan beroda tak ada lagi, bahkan gelang dan perhiasan sudah raib, Faisal menjadikan putrinya sebagai barang taruhan. Semuanya dilakukannya demi perjudian.
Sepanjang permainan judi itu, Nala hanya bisa menangis. Tangannya gemetaran bukan main. Terlebih ketika ayahnya mulai cemas, menatapnya dengan gusar, tanda bahwa kekalahan mulai menghinggapinya. Hingga detik-detik terakhir permainan kartu itu, ayahnya tak pernah menang sekalipun. Dan Nala tak bisa melakukan apa-apa.
"AAAAAARRRRRGGGGHHHHH!!!!" Faisal berteriak gusar. Ia mengusap kepalanya dengan keras lalu pergi begitu saja meninggalkan Nala.