Di sebuah ruang kelas, seorang pemuda menatap takzim ke arah papan tulis. Lebih tepatnya ke arah dosen yang tengah berceloteh panjang lebar menjelaskan tentang suatu materi. Manik mata pemuda itu memang tertuju ke sang dosen, namun pikirannya berkenala. Pikirannya bertualang ke kejadian dua hari yang lalu, dimana ia bertemu dengan perempuan yang teramat cantik, yang kecantikannya bahkan bisa mengalihkan fokus perhatiannya dari sang dosen.
Lepas dua hari setelah kejadian di bus, dan Wira bahkan masih bisa mengingat dengan jelas wajah perempuan itu. Perempuan yang dilecehkan oleh dua orang sekaligus. Perempuan yang mengenakan pakaian hitam yang memang sedikit memamerkan paha dan lengannya.
Wira masih ingat mata cokelat perempuan itu yang basah ketika dua orang di depannya menatap intens ke arah dadanya, dan orang di belakangnya memajukan organ genitalnya kepada perempuan itu. Perempuan itu seakan ingin menangis, berteriak, keluar dari posisi paling tidak menguntungkan itu. Sayangnya, tak ada yang peduli. Tak ada yang menaruh iba pada korban pelecehan. Semua orang di dalam bus seakan menutup mata pada sebuah kejahatan yang jelas-jelas ada di depan mereka.
Wira sebenarnya ingin seperti orang-orang di dalam bus. Membiarkan kedua pria itu melakukan apa yang mereka inginkan pada gadis itu. Lagipula, itu bukan urusan Wira, itu bukan dosa Wira. Ikut campur hanya akan membuat masalah di hidup Wira yang sebenarnya sudah penuh sesak dengan berbagai problema.
Sayangnya, pelecehan seksual tak pernah bisa Wira biarkan. Pelecehan seksual selalu membangkitkan ingatan kelam di masa lalunya, membangkitkan trauma bertahun-tahun yang lalu. Meski bukan ia yang menjadi korban pelecehan seksual, Wira tahu betul apa dampak dari hal tersebut. Wira ingat sekali ketika orang terdekatnya, mendapat pelecehan seksual, dan berujung dengan maut.
Sesekali Wira melirik perempuan itu untuk memastikan, apakah dua orang itu sudah berhenti melecehkannya atau belum. Ketika Wira merasa bahwa dua orang itu tidak ada tanda-tanda ingin berhenti, dengan satu gerakan mulus ia menarik perempuan itu, lalu bertukar posisi dengannya.
Wira merasakan tubuh perempuan itu menegang ketika ia menarik lengannya. Mungkin di pikiran gadis itu, Wira akan berbuat hal yang sama seperti dua orang di dekatnya tadi. Namun, begitu tahu Wira hanya ingin bertukar posisi, menyelamatkannya dari bencana, tubuh perempuan itu kembali rileks. Manik mata cokelatnya menatap Wira dengan penuh terima kasih. Sayangnya, hal itu malah membuat dada Wira berdesir tak karuan.
Sebagai laki-laki sejati, Wira tak tahan dengan apa yang ada di hadapannya itu. Seorang perempuan, dengab pakaian terbuka, dengan manik mata cokelat yang begitu indah. Tubuhnya yang lebih pendek dari Wira, membuat Wira bisa melihat dengan jelas belahan yang muncul di dada perempuan itu, yang kemungkinan besar akan membangkitkan pikiran-pikiran kotor di otaknya.
Oleh karena itu, sebelum hal yang tidak menyenangkan terjadi, Wira memalingkan muka. Ia menatap ke arah lain, kemanapun, asal jangan ke gadis itu. Sungguh, ia tidak kuat. Bermenit-menit ia memalingkan wajahnya, ia merasakan keram di bagian lehernya. Namun, ia harus tetap seperti itu. Mencegahnya dirinya melihat ke arah gadis itu lebih baik daripada ia berbuat yang tidak-tidak pada gadis itu.
Hingga bus berhenti di sebuah halte, dan perempuan itu turun, barulah Wira merasa sedikit lega. Ia menghembuskan napas yang selama itu terasa tercekat si tenggorokannya. Ia juga menoleh ke arah jendela, memastikan perempuan itu turun dengan selamat.