Dua puluh tujuh tahun usianya, Gupta sudah berkelana mencicipi perempuan-perempuan bayaran. Selama itu pula, Gupta tak pernah menemukan yang selegit Nala. Tubuh perempuan itu bak mantra-mantra yang diucapkan para penyihir, magis dan menghipnotis. Bibirnya bak kue-kue buatan koki-koki hebat, manis dan memabukkan. Wajahnya bak lukisan pelukis Eropa, cantik dan menarik.
Terlalu banyak hal yang menakjubkan dari perempuan itu. Dan ia yakin lebih banyak hal lain lagi dari sekedar percintaan satu malam yang ia dan perempuan itu lakukan. Rasanya, Gupta rela merogoh kocek lebih dan lebih demi bisa menikmati tubuh indah milik Nala. Tubuh Nala entah bagaimana bisa membuatnya senang, bahagia, menaikkan hormon serotonin dan dopamin dalam tubuhnya.
Tubuh Nala benar-benar candu. Baru sekitar empat jam lalu ia mandi, mengemasi pakaiannya, lantas meninggalkan gadis itu di kamar hotel. Tapi rasanya, kerinduan mulai menggerogoti tubuhnya. Mengambil alih jalan pikirannya. Membutakan matanya, sehingga apa yang dilihatnya hanya lekuk tubuh gadis itu. Nala juga seakan-akan menulikan telinganya, sehingga apa yang didengar Gupta sekarang hanya desah suara kenikmatan yang dikeluarkan dari bibir merah Nala. Tubuh gadis itu, mengeluarkan aroma yang juga mematikan saraf indra penciumannya, sehingga apa yang Gupta cium saat ini, hanyalah aroma rambut Nala yang berbau stroberi.
Empat jam berlalu sudah, namun Gupta tak jua memalingkan wajahnya dari layar ponsel yang menampilkan gambar Nala. Ia mendapat gambar itu dari mucikari tempatnya menyewa Nala. Sebenarnya, ada banyak gambar tentang Nala, beberapa bahkan terkesan vulgar. Tapi entah kenapa, wajah gadis itu yang paling menarik perhatiannya.
Wajah Nala sedikit lonjong, dengan lesung pipit saat ia tersenyum. Matanya lebar, dengan manik mata berwarna cokelat yang sangat-sangat memikat. Hidungnya mancung, dengan bibir merah tebal yang membuat Gupta ingin melumatnya berkali-kali. Rambut gadis itu sebahu, hitam legam, berkilau saat diterpa cahaya.
Seakan tak ingin mati didera rasa rindunya, ia mengetikkan pesan ke sebuah nomor. Ia berniat untuk memesan jasa Nala lagi malam ini. Dan malam ini juga, ia akan mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada perempuan itu, dan ingin menjadikannya kekasih.
Ketika ia sedang mengetikkan pesan, ia terlonjak kaget ketika pintu kantornya dibuka secara tiba-tiba. Ia hendak marah karena merasa privasinya tak dihargai, namun begitu melihat siapa yang datang, Gupta mengurungkan niatnya untuk marah.
Adalah tunangannya, Ajeng, yang memasuki ruangan. Perempuan yang juga bekerja sebagai model dan selebgram itu nampak cantik dengan balutan kemeja berwarna hitam dan rok selutut yang tidak terlalu ketat.
"Kalau mau masuk ketuk pintu dulu, dong, Sayang," keluh Gupta.
Seakan tak terpengaruh keluhan tunangannya, Ajeng duduk di kursi di depan Gupta, merebahkan punggungnya di kursi. "Astaga, aku itu tunanganmu, masa tiap mau masuk ke kantormu aku harus ketuk pintu segala. Emang aku karyawanmu apa?"
"Ya nggak gitu. Kan, bisa aja aku lagi telepon sama orang penting atau gimana."
"Iya, deh. Maaf. Tadi aku lihat kamu lagi main hp, ngapain?"
Gupta menelan ludah. Gugup. Matanya bergerak-gerak mencari alasan. Sebab, tunangannya tak boleh tahu jika sekarang, Gupta sedang terobsesi pada perempuan bayaran yang ia tiduri semalam. "Anu…klien."