Diantara sekian ratus juta penduduk bumi. Beberapa dari mereka diciptakan berpasangan. Seribu empat ratus tahun yang lalu. Namaku dan namamu, telah tertulis dalam kitab yang bernama lauhul mahfuz.
Seperti takdir yang berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Kisahku dan Kamu telah tertulis dalam skenario paling baik yang pernah ada.
Bahkan, aku tak pernah menyangka. Setelah sepuluh tahun berlalu. Masih ada kesempatan untuk bertemu denganmu lewat hal yang sama sekali tak kuduga bahkan kusangka.
“Apa ini?“ ucapku tatkala Zahra menyerahkan sebuah amplop putih. Aku menelisik memperhatikan amplop putih tersebut. Membolak-balikkannya hingga….
Mata membulat saat melihat sebuah logo yang sangat kukenali bentuknya. Logo warna hijau berbentuk segi lima. Tulisan 'ikhlas beramal' di bawahnya membuat jantungku berdegup kencang.
Logo Madrasah Aliyah Negeri, sekolahku dahulu. Tempat belajar selama tiga tahun lamanya. Juga tempat pertama kali aku bertemu dengan dia.
“Ra, ini siapa yang kasih?“
“Yudi, tadi kamu salat. Jadi dititipkan ke aku.
“Orangnya sudah pergi berarti, ya?“
Zahra mengangguk. Sayang sekali padahal aku ingin melihat orang yang mengantarkan surat ini. Tepatnya ingin bertanya banyak hal.
Sejak lulus dari MAN, aku jarang balik Kampung. Bahkan bisa dibilang seperti memutus komunikasi dengan hal-hal yang ada di sana.
Entah apa alasannya aku lupa. Yang pasti sejak sepuluh tahun yang lalu. Aku jarang kembali bahkan untuk bertemu dengan teman-teman lamaku.
Makanya saat surat ini sampai. Aku agak bingung. Sekiranya, siapa yang mengetahui aku bekerja di sini. Sungguh, aku menghargai para panitia acara yang sangat totalitas. Mau mengumpulkan alumni yang sudah berpencar ke segala penjuru.
Membuka lem pada amplop putih tersebut. Mengeluarkan kertas putih di dalamnya. Benar apa yang kuperkirakan. Senyumku terbit saat membaca dua kata bertuliskan cetak tebal tersebut.
Reuni Akbar.
“Masya Allah.“ Aku memeluk Zahra. Sahabat sekaligus rekan kerja. Dia tampak kebingungan melihat tingkahku.
“Apaan sih, isinya, Sa?“
Aku memberikan kertas itu padanya. Zahra membacanya sekilas, lantas mengangguk-angguk.
“Undangan reuni. Aku pikir surat kenaikan gaji.“
“Hus! Sembarangan!“
“Mana tahu, kan?“ gelaknya tanpa rasa bersalah. Aku yang tak enak. Kali saja kepala sekolah tiba-tiba lewat. Memang Zahra terkenal ceplas-ceplos orangnya.
“Seneng banget, Sa. Cuma reuni, kan?“