Memories Of Rain

Diyah Islami
Chapter #2

Pertemuan Pertama

28 September 2012


Hidup di negara yang letaknya tepat berada di garis khatulistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis. Dan hanya mempunyai dua musim. Hujan dan kemarau. 


Memasuki tahun ajaran baru yang tepat jatuh di bulan September. Hujan turun dengan deras. Kadang malah satu harian tak berhenti. Membuat jalanan becek dan udara begitu lembab.


Khalisa mendongak seraya menadahkan tangan pada kucuran air yang turun dari atap rumah. Kemudian menatap jam dinding di ruang tamu yang hampir menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas.


Memang, sekolah akan mentoleransi siswa maupun siswi yang datang terlambat saat hujan tiba. Namun, ini tahun ajaran baru. Sebisa mungkin untuk tidak meninggalkan kesan buruk pada pertemuan pertama.


“Masih deras, Kha?“ 


Khalisa menoleh. Tersenyum menatap Bunda yang berjalan ke arahnya. 


“Masih, Bun.“


“Apa mau Bunda antar saja? Pakai jas hujan biar gak basah.“


Khalisa mengerjap, menimbang sejenak. “Kayaknya gak usah, Bun.“


“Terus Kamu berangkat gimana? Nanti basah loh, masuk angin.“


“Pakai payung aja.“


“Yakin?“


Khalisa mengangguk, meyakinkan Bunda. Setelahnya mengambil payung yang ada di pojok ruang tamu. 


“Pergi, Bun. Assalammu'alaikum.“ Mengamit tangan sang Bunda dan menciumnya.


“Wa'alaikumussalam. Hati-hati!“ 


Khalisa mengangguk, melambaikan tangan. Berjalan di bawah rintik hujan. Sebenarnya ingin sekali diantar. Namun tidak tega jika Bunda harus hujan-hujanan karena mengantarkannya. Apalagi posisinya Bunda sedang merawat Ayah dan adiknya yang tengah sakit. Tentu saja bakal kerepotan.


Khalisa menghela nafas, berulangkali melompat saat melewati genangan air yang menurutnya cukup dalam. Suara kecipak air yang beradu pada sepatu membuat irama yang sejalan dengan air hujan.


Jarak dari rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sebenarnya bisa lebih cepat jika melewati jalan pintas.


Khalisa bimbang antara melewati jalan pintas atau jalan utama. Ia berada di simpang jalan. Matanya menatap ragu pada jalan pintas berupa gang sempit yang dikelilingi tembok tinggi. Ia menatap arloji di pergelangan tangannya.


Dengan langkah mantap sembari meyakinkan diri ia melangkah menuju gang sempit itu dengan payung di tangan. Besarnya payung membuat dirinya memenuhi jalan itu sendiri.

Lihat selengkapnya