Ctaar
Petir menggelegar tepat setelah aku selesai shalat isya. Mengurut dada dan menetralkan debarnya. Aku menengadahkan tangan untuk berdoa.
Selesai. Aku merapikan mukena. Sejenak melihat keadaan di luar dari jendela kamar.
Hujan disertai angin kencang malam ini. Angin kencang berhembus meliuk-liukkan dedaunan pada pohon. Aku menutup tirai jendela kembali
Masih pukul delapan malam sebenarnya. Namun, aku memilih menutup pintu rapat-rapat. Bahkan motor juga sudah ku masukkan ke dalam garasi kos.
Aku menyetel murottal. Qur'an surah Ar-Rahman Mishary Alfasy. Sembari menyusun beberapa pakaian dan juga barang yang akan kubawa pulang ke kampung halaman.
Aku jarang pulang sebenarnya. Walau jarak dari kota tempatku bekerja dengan kampung halaman hanya memakan waktu tiga jam.
Entah kenapa aku merasa malas. Seperti… tak ada yang penting yang ada di sana selain kedua orang tua dan adikku.
Teman-temanku? Entahlah. Beberapa dari kami sudah menyebar ke segala penjuru. Susah menghubungi ditambah tahun itu ponsel adalah benda yang cukup mahal.
Pernah satu kali karena penasaran. Aku mencari mereka di sosial media. Namun tak jua menemukan.
“Jadi… dari mana aku harus memulai,” ucapku berkacak pinggang sembari menatap barang-barang yang cukup berantakan itu.
Aku mulai duduk, membaur diantara barang yang berserakan. Mulai menatanya satu persatu.
Kumulai dari melipat pakaian, jilbab, gamis dan rok. Memasukkannya ke dalam koper. Libur semester tahun ini dua minggu. Aku memutuskan untuk berlama-lama di kampung halaman.
Lalu body lotion, pencuci muka dan perangkat lainnya. Banyak juga barang yang kubawa.
Lantunan murottal tiba-tiba terhenti. Aku menoleh sekilas pada layar ponsel. Berubah menjadi nada dering panggilan masuk telpon.
Dari Bunda.
Buru aku mengangkatnya.
“Halo, Bun. Assalammu'alaikum.“ Aku menekan tombol speaker agar tidak perlu memegang ponsel tersebut. Meletakkannya di atas kasur sembari terus berbenah.
“Wa'alaikumussalam. Jadi pulang, kan?“
“Jadi, Bun.“
“Alhamdulillah. Kapan kiranya?“
“Lusa, Bun. Besok masih bagi rapot soalnya.“
“Ya sudah, hati-hati. Bunda cuma mau memastikan saja. Kalau sudah sampai stasiun jangan lupa kabari Bunda, ya!“
“Iya, Bun.“
Aku mengangguk-angguk. Bunda mengucap beberapa petuah setelahnya. Agak lama kami bicara, telpon ditutup seiring dengan beresnya barang-barangku.
Aku menguap dan menggeliat. Menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.
Bangkit berdiri merapikan barang dan pergi ke kamar mandi. Aku berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur. Sunahnya begitu. Manfaatnya juga sering kurasakan. Tubuh serasa lebih segar saat bangun di pagi hari.