Hyun melangkah menuju ruangannya yang tak jauh dari ruang operasi. Hari sudah mulai gelap, ketika ia membuka tirai jendela berkaca lebar. Ia berdiri di sana, menikmati gedung-gedung pencakar langit yang gemerlap. Bibir tipisnya menyunggingkan senyuman, tatkala mengingat kembali kejadian di ruang operasi, tadi siang.
Hyun baru saja memasuki ruang operasi dan menyapa beberapa rekan juga para perawat yang sedang mempersiapkan keperluan untuk operasi. Tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggilnya. Hyun menoleh dan menghampiri pria dengan rambut sedikit gondrong dan kedua mata yang lebih sipit darinya.
“Wae[1]?” tanya Hyun seraya menepuk pundak dokter Daisuke.
“Jangan lupa setelah operasi terakhir, langsung ke kafe biasa. Kau ikut kan?” Daisuke mengingatkan.
“Apakah aku punya pilihan lain?” Hyun mengambil sarung tangan lateks dan mengenakannya.
“Tentu tidak,” jawab Daisuke sambil tertawa. “Hmm … apa kau sudah bertemu dengan perawat pindahan dari lantai satu?” tanya Daisuke lagi seraya menyenggolkan lengannya.
Hyun mengangkat bahu acuh.
“Itu!” Daisuke menunjuk menggunakan bibirnya. “Dia berdiri di sana. Arah jarum jam tiga.”
Arah pandang Hyun langsung mengikuti isyarat dari Daisuke.
“Hei! Kau mau ke mana?” tanya Daisuke ketika melihat Hyun melangkah meninggalkannya.
“Tentu saja, aku akan menyapanya.”
Baru saja Hyun mendekat, tiba-tiba tubuh gadis berhijab itu terhuyung ke belakang.
“Josimhaseyo! Tanganmu bisa terluka.” Kedua tangan Hyun bersiap hendak menyangga tubuh mungil itu, tetapi kedua tangan Nurliza mendahuluinya.
“Gwaenchanhaeuseyo?” tanya Hyun khawatir. Ia merlihat sebelah kiri tangan gadis itu menyentuh nampan yang berisi pisau bedah.
Gadis itu membeku dan menatap langsung ke arah Hyun.
Bukankah gadis ini adalah gadis yang bersamanya di kafetaria, tadi? tanya Hyun di hatinya.
Hyun tersenyum. ‘Gadis biscuit,’ ucap Hyun lagi di hatinya.
“Apakah kau masih lapar, hingga hampir terjatuh?” Hyun berkata lembut sebelum meninggalkan gadis yang memiliki tali lalat di tengah-tengah batang hidungnya itu.
Hyun mendesah perlahan. Tangannya memegang dadanya yang kini berdebar-debar.
“Kenapa dadaku berdebar saat mengingat ‘Gadis biskuit itu?”
“Apa yang sudah terjadi denganku?”
Hyun menggelengkan kepala, mengusir bayangan si gadis biskuit yang kini telah memenuhi pikirannya
***
Mina baru saja keluar dari dalam kamar operasi di lantai enam. Hari sudah gelap. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Gadis itu merogoh saku celananya lalu menempelkan benda pipih itu di telinga.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya di ponsel sambil berjalan ke arah jendela kaca lebar.
Gadis itu berdiri dan memandang ke bawah—memperhatikan jalanan yang bertambah ramai di kala malam hari. Mobil-mobil berlalu-lalang memadati jalan raya. Orang-orang dengan pakaian beraneka warna dengan tren masa kini berjalan memenuhi sepanjang trotoar.
“……”