Mina duduk di salah satu bangku panjang yang banyak disediakan bagi para pengunjung taman. Biasanya, Mina langsung pulang tanpa mampir dulu sana-sini. Entah kenapa, tiba-tiba saja langkah kaki Mina menyeretnya ke taman yang terletak tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Malam ini, pengunjung taman terlihat dipenuhi oleh pasangan yang sedang berkencan. Mungkin karena akhir pekan atau mungkin juga karena lokasinya yang sangat strategis—dekat kantor, toko-toko, kafe dan restoran. Selain itu, taman ini begitu asri dan indah.
Langit terlihat gelap saat Mina mendongakkan wajahnya ke atas. Gadis itu menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. Rasa lelah mulai menjalari tubuhnya. Kedua kakinya juga terasa pegal.
Hari pertama Mina bergabung di tim bedah syaraf, ternyata cukup melelahkan. Bayangkan saja, seharian berada di kamar operasi dan hanya diberikan waktu sepuluh menit tiap kali pergantian operasi—untuk beristirahat, itu terasa membosankan. Jadwal operasi hari ini memang cukup banyak dan kondisi itu sangat kontras, saat ia masih menjadi perawat di poliklinik—jadwal kerja di sana lebih teratur.
Tiba-tiba Mina teringat akan sekotak kimbab yang diberikan Nurliza tadi siang. Ia segera mengambilnya dari dalam tas bekal. Masih tersisa tiga potong dan Mina mulai memakannya satu persatu. Ketika gadis itu menggigit potongan kimbab yang terakhir, tiba-tiba ia mencium aroma yang nikmat. Mina terkejut, tatkala sebuah tangan menyodorkan gelas dari kertas karton berisi teh hijau latte yang masih mengepul.
“Lelah?”
Suara rendah itu begitu lembut dan terdengar tak asing di telinga Mina. Disaat Mina mengangkat wajahnya, matanya langsung bertemu dengan mata hitam Hyun yang hangat. Pria itu memberikan senyuman yang persis sama, saat mereka baru pertama kali bertemu di kafetaria.
Dokter Hyun? Bukankah tadi, dia bilang akan pergi bersama Dokter Daisuke? Kenapa tiba-tiba, dia bisa berada di sini?
“Kafe yang kami kunjungi, berada tidak jauh dari taman ini,” ujar Hyun seolah dapat membaca isi kepala Mina.
“Dan ketika hendak pulang, aku melihat kau duduk sendirian di taman ini,” lanjut Hyun lagi.
“Ini untukmu! Kau akan merasa lebih baik setelah meminumnya.” Hyun kembali menyodorkan gelas teh hijau latte.
Mina masih bergeming. Walaupun udara mulai terasa dingin, Mina merasa pipinya menghangat. Untuk beberapa detik, Mina diam tak bergerak.
Hyun tersenyum dan menatap Mina dengan alis terangkat heran. Gadis ini menurutnya begitu lucu. Apakah dia tidak pernah berbicara berdua dengan laki-laki, hingga kedua pipinya yang tembem itu selalu semerah tomat?
“Apakah kau selalu seperti ini, jika bertemu dengan orang lain, selalu kaget dan mematung?”
Mina langsung mengalihkan pandangan dan berdeham kecil. Ia memegang dadanya. Ada degup kencang di sana.
Kenapa dadaku berdebar-debar?
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Hyun sopan dan dibalas anggukan Mina.
Hyun meletakkan gelas teh di bangku—menjadi pembatas di antara mereka. “Sebelum teh itu menjadi dingin, sebaiknya kau meminumnya.”
Mina meraih gelas teh lalu menyesapnya perlahan. Rasa hangat, terasa mengaliri kerongkongan hingga ke perutnya. Teh hijau latte itu, rasanya begitu nikmat. Mina belum pernah merasakan teh hijau latte seenak ini.
Di mana Dokter Hyun membelinya?
Mina mengangkat gelas teh dan membaca sebaris nama kafe mewah yang tertulis di sana.
Mm, harganya pasti mahal, batin Mina