“… kegagalan akademis siswa bukanlah akibat tidak adanya/kurangnya upaya oleh sekolah, melainkan justru akibat ‘ulah’ sekolah.“
—John Holt dalam How Children Fail
Kalau saya, sebagai penyelenggara jaringan sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, bisa memilih dengan bebas, saya akan pilih model sekolah yang hampir-hampir tidak ada sama-samanya dengan sekolah yang dikenal sekarang ini. Sekolah yang, bukan saja para gurunya cuma menjadi fasilitator dalam proses belajar siswa, tapi yang justru sekolah itu sendiri secara keseluruhan menjadi fasilitator. Yakni, sekolah yang anak-anaknya bebas memilih apa yang mau dipelajari. Paling banter sekolah membantu siswa untuk memastikan apa yang mau mereka pelajari. Kalaupun ada mata pelajaran yang dipilihkan oleh sekolah, maka itu hanyalah sebatas ilmu-ilmu dasar yang setiap orang harus menguasai. Dan ini pun sejauh penguasaan yang tak lebih jauh dari sekadar minimal (cukup). Termasuk di dalamnya bahasa, matematika, sains kealaman, dan sains sosial. Selebihnya, waktu dan ruang seselesa-selesanya harus diberikan kepada belajar sesuai dengan minat dan kecerdasan mereka—yakni, kurang-lebih, sesuai dengan paradigma kecerdasan majemuk. Jadi di satu sekolah, bahkan di satu kelas, setiap anak memiliki Individualized Educational Program (IEP)-nya sendiri-sendiri. Selama ini IEP hanya berlaku untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus tertentu atau, dengan ungkapan yang jelas meski tak selalu politically correct, anak-anak dengan disabilitas tertentu—betapa pun belakangan istilah “disabilitas” sudah diganti dengan difabilitas (dari kata “diffability”, yang merupakan kependekan dari ungkapan “different ability”). Karena sesungguhnya setiap manusia itu unik, dia punya minat, jenis kecerdasan, dan keterbatasan yang berbeda-beda. Dengan diberikan ruang seselesa-selesanya untuk memilih kurikulumnya sendiri, maka besar kemungkinan mereka bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka. Bukan hanya karena mereka akan bisa berkembang sesuai kecerdasan mereka, tapi juga karena mereka akan belajar dengan penuh hasrat (passion). Lebih dari itu, mereka akan belajar dalam keadaan senang dan tidak tertekan. Dan orang yang belajar dengan senang, akan belajar dan mampu menyerap pengetahuan dengan lebih baik. Termasuk dalam prasyarat anak belajar dengan senang, adalah tiadanya tekanan-tekanan untuk harus berhasil, di tengah ancaman tes-tes beruntun yang dibebankan atas diri mereka. Apalagi jika tesnya bersifat terstandarisasi. Belajar tanpa tekanan dan dalam suasana menyenangkan ini juga akan menjadikan anak kreatif. Karena mereka akan berani, bahkan excited, untuk mencoba hal-hal yang baru, tanpa kekhawatiran dianggap gagal.