Blurb
Sekolah, adalah sebuah kata yang seolah tabu di keluar Rubi, padahal dia ingin mengenyam pendidikan. Anak itu selalu takjub mendengar cerita-cerita apapun yang keluar dari bibir guru-guru yang diam-diam dikupingnya,, dia juga ingin bisa membaca dan pintar berhitung seperti Tini, sahabatnya. Rubi tidak silau dengan harta, namun selalu tertarik dengan pengetahuan baru, namun hal itu begitu sulit didapatkannya.
Kesulitan demi kesulitan dialaminya, diawali dengan sang bapak yang pergi untuk selamanya di masa kanak-kanaknya yang ternyata sang bapak memiliki istri lain dan dua anak hingga membuat ibunya sedikit depresi.
Rubi memiliki enam kakak yang sebagiannya sudah menikah. Meskipun mereka merasa kaya karena memiliki sawah, tanah dan tanah kebun yang banyak, namun kehidupan mereka sama saja dengan masyarakat kebanyakan, tidak mengenyam pendidikan, berpakaian seadanya juga makan makanan yang sederhana, tidak jauh-jauh dari ubi, jagung atau singkong rebus, kadang gaplek, gatot dan tiwul. Nasi menjadi sesuatu yang istimewa dalam keluarga Rubi.
Rubi ingin sekali sekolah, ingin sekali banyak belajar hingga saat Wagiman yang seorang guru honorer menyatakan cintanya, dia bahagia luar biasa. Rubi sudah membayangkan akan banyak belajar dari kekasihnya itu. Hingga pada akhirnya dia dipaksa menerima lamaran seorang duda petani. Rubi tak kuasa melawan keputusan Suyono namun dia berani menolak mentah-mentah suaminya. Selama 4 tahun berumahtangga Rubi sama sekali tidak mau berkomunikasi dengan sang suami, bahkan dia akan menjerit histeris lalu kabur dari rumah kalau suaminya berani masuk kamar.
Selama masa itu Rubi hanya mampu menanti, menanti perubahan dalam hidupnya yang seolah menjauh. Menanti kapan bahagia itu datang hingga dia dikejutkan oleh penangkapan orang secara besar-besaran dan membabi buta setelah peristiwa 30 September meletus. Bu Sulastri dan pak Sugeng, guru SD yang dikaguminya diam-diam ikut ditangkap tanpa tahu kesalahannya. Rubi menggigil saat ternyata Tini sahabatnya ikut ditangkap, ada apa ini? Mengapa? Tanya itu menggaung dalam benaknya. Menanti, lagi-lagi hanya itu yang dilakukannya demi memperoleh jawaban.
"Sukur kowe jadi wong bodo, Ru," ujar Suyono ketima menceritakan peristiwa penangkapan itu. Rubi tak setuju namun tentu hanya dalam hati.
Pada akhirnya Rubi bisa luluh pada suaminya di tahun kelima karena kesabaran sang suami.
Dahaga seolah menemukan curahan air kala anak pertamanya sudah bisa mengajari Rubi membaca, Rubi juga senang sekali mendapat banyak ilmu dan pengetahuan baru dari anaknya yang dibawanya dari sekolah dan buku.
"Buat apa?" Tanya seorang tetangga kala melihat Rubi yang tekun membaca buku. Rubi hanya mengendikkan bahu, tentu karena hanya ada kesenangan dari kegemarannya itu.
Semakin hari Rubi semakin pintar berdagang, beberapa peristiwa terjadi dari aktivitasnya, beberapa kali pula ditangkap polisi karena dituduh sebagai penadah barang curian.
Cita-cita masa kecil terwujud saat akhirnya anak pertamanya bisa jadi guru dan berhasil mendapatkan NIP, anak keduanya pula menjadi aparat negara. Meskipun begitu, Rubi tetap berdagang karena bekerja adalah hiburannya. Meski tinggak seorang diri setelah kepergian suaminya untuk selamanya, Rubi tak meratap, dia tetap bekerja dan masih ingin memberi apapun pada anak-anak dan cucu-cucunya. Dengan menaiki sepeda ontel, dua keranjang berisi ayam kampung dan entok hidup siap dipasarkannya setiap hari di pasar yang berbeda-beda mengikuti jadwal. Hingga akhirnya maut merenggutnya saat sedang melakukan aktivitas rutinnya itu.