Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta
Hidup itu seperti labirin—berliku, terkadang juga buntu. Ada awal yang harus kita mulai dan ada akhir yang harus kita tuntaskan. Liku itu kadang membuat kita lelah, kadang membuat kita begitu bersemangat. Dan hari ini, di Bandara yang berbeda aku melangkahkan kaki kembali ke kota yang sudah lama aku tinggalkan. Kini aku datang dengan nyawa yang baru dan cerita hidup yang aku harap tak lagi kelabu seperti hari kemarin.
“Widuri Elok Rembulan? Ini kamu?” perempuan bertubuh tambun itu memelukku erat, sangat erat. Dia tidak berubah, ternyata masih sama. Hanya wajahnya saja yang makin menua dari terakhir kami bertemu.
“Kamu tidak berubah Kem?” ujarku sesak sambil berusaha melepaskan pelukannya yang erat. Dia melepaskan pelukan dan menatapku dengan seksama.
“Kamu harus banyak cerita sama aku ya Wid! Dan kita harus jalan-jalan di sini! Jogja sudah berubah sekarang, kamu pasti pangling pol deh!” dia mendorong troliku sambil melempar senyumannya yang hangat. Akupun kembali memeluk tubuh gempalnya. Kemuning, akhirnya takdir mempertemukan kita lagi.
Kemuning Ananta, dia adalah sahabat semasa SMA, tepatnya teman sebangku-ku. Teman-teman memanggilnya ‘Kemmy’. Selama tiga tahun, kami satu kelas dan satu bangku. Kemmy adalah sahabat perempuan yang paling dekat denganku. Bertemu kembali dengannya adalah satu keajaiban yang pada Allah aku berterima kasih. Selama dalam perjalanan dari Amsterdam ke Yogyakarta, aku berulang kali bertekad pada diri ini, bahwa aku harus bahagia setelah ini.
Handphone berdering.
“Widuri, kamu sudah sampai Jogja?” ujar suara khas lelaki yang telah mengembalikan hidupku.