“Kenapa mukamu ditekuk kayak gitu mas?” Haris memecah kegaduhan dalam otakku. Berkali-kali aku melihat pesan yang Manda kirimkan.
“Dia di Jogja Ris!” ujarku melirik Haris dengan tatapan lesu. Haris mengambil handphoneku dan melihat pesan dari Manda.
“Ya Allah mas! Terus? Duh, kok aku yang deg-degan ya?” ujar Haris jalan bolak-bali di hadapanku.
“Aku harus gimana ya Ris?”
“Sumpah kali ini aku buntu.” Haris menatapku dalam. Aku tahu maksud tatapan itu.
Lama untukku bisa hidup seperti hari ini. Berat rasanya bagiku melalui ini semua. Sejak melangkah meninggalkan Wimbledon setahun yang lalu, hari-hari benar menghimpitku dalam payah dan lelah—ya lelah bersembunyi darinya. Setiap hari setelah itu aku selalu memandangi pesan terakhir yang ia kirimkan sebelum aku memutuskan untuk tak pernah membalasnya lagi. Maafkan aku Wid! Aku harus melakukan ini semua. Karena ini satu-satunya cara untuk aku bisa melupakanmu. Ini semua tidak mudah dilakukan. Aku telah melakukan ini sebelumnya, dan aku gagal. Meskipun aku telah bahagia bersama istri dan anakku, kamu tidak pernah pergi Wid! Karena kamu selalu aku simpan di tempat yang sama. Dan sekarang? Ketika harapan itu mungkin dapat diwujudkan, aku harus rela melepaskanmu sekali lagi. Melepaskanmu pada orang yang sama.
Wimbledon, UK
Setahun yang lalu
“Menurut Mas Gilang, apa yang saya lakukan masuk akal kan Mas?” Malam itu aku meminta waktu khusus pada suami Manda, aku membutuhkan saran darinya.
“Masuk akal sih Bim! Ternyata cinta adalah pengorbanan itu benar adanya ya? Jika itu pilihanmu, lepaskan dia dengan senyuman. Meskipun Mas tahu, pedih rasanya dihati. Tapi, apa yang kamu lakukan ini adalah sesuatu yang hebat Bima! Karena cinta itu sejatinya adalah lumbung kebahagiaan. Ketika kita mencintai seseorang, maka kebahagiaan-lah yang harus kita hadiahi setiap hari.” Mas Gilang menepuk pundakku. Aku tersenyum dengan air mata yang tak sadar telah mengalir sejak tadi.
Bagiku membuat Widuri bahagia untuk saat ini, bukan dengan cara memilikinya, tapi sebaliknya. Aku harus meninggalkannya. Membiarkan dia bersama orang yang memang bisa membuatnya kembali hidup. Dan, aku menyadari memang Widuri dilahirkan bukan untuk menjadi milikku. Tapi cinta dan doa tetap aku kirimkan untuknya. Aku sadar bahwa cintaku padanya tidak akan pernah menjadi satu romansa yang diharapkan banyak orang. Rasanya memang pedih, tapi aku harus tetap melanjutkan hidup. Dan berusaha belajar perlahan melupakan semua ini, meskipun itu sepertinya mustahil.