Yogyakarta sudah berubah. Banyak gedung-gedung tinggi yang bermunculan. Sepanjang jalan Mangkubumi aku melihat hotel-hotel berdesakkan menonjolkan kemegahannya. Tidak banyak lagi yang bersepeda berlalu-lalang di sekitar jalan ini seperti dulu. Jalanan sudah sesak dengan kendaraan berasap.
“Pade Wiryo, di depan sana berhenti ya!”
“Mau ke mana mbak?” tanya supir keluarga kami yang telah mengabdi puluhan tahun. Beliau suami Lek Ni, pengasuhku.
“Ketemu teman lama Pade!” ujarku sambil mencoba menghubungi seseorang.
Telepon tersambung.
“Maaf mbak, saya mau tanya, owner galeri ini setiap hari datang ke galerinya nggak?” tanyaku pada suara yang menyahut di seberang.
“Datang mbak, tapi kebetulan hari ini Mas Bima lagi ada urusan. Baru saja keluar!” aku melihat ke arah luar. Tampak sebuah mobil keluar dari halaman galeri itu. Galeri Aditya Bima.
“Terima kasih ya mbak atas informasinya.” Aku menutup sambungan telepon.
“Pade, tunggu di sini dulu ya! Saya sebentar saja,” ujarku. Pade Wiryo mengangguk.
Ada perasaan campur aduk yang menggema di dadaku. Detaknya seakan tak berkompromi. Entah mengapa tiba-tiba langkahku terasa berat menuju sebuah rumah yang disulap menjadi sebuah galeri dan coffee shop itu. Otakku memutarkan kembali kenangan belasan tahun lalu bersama pemilik tempat ini. Orang yang kini mungkin tak sudi untuk bertemu denganku lagi. Dia yang telah berlalu bersama waktu. Meninggalkan jejak yang tak terjawab. Ia menggantungkan apa yang seharusnya tak digantungkan. Dia menyiksakku, sangat menyiksa. Namun nyatanya, aku lebih dulu melakukan ini padanya—dan mungkin lebih lama dari yang pernah dia lakukan sekarang padaku. Apa mungkin kini dia sedang membalas apa yang pernah kulakukan dulu padanya? Adit, kamu berhasil! Sekarang aku merasakannya. Merasa kehilanganmu.
Aku berdiri di depan galeri miliknya. Beberapa detik aku merasakan rindu yang berkumpul dan semua mendadak terasa sesak. Aku memandang namanya yang terpampang jelas. Melihat sekitar dan berusaha menarik langkah yang entah mengapa terasa sangat berat.
“Selamat datang kak! Ada yang bisa kami bantu?” salah seorang pramusaji coffee shop milik Adit memecah keraguanku untuk masuk.
“Oh Maaf, sa-ya, hmm… Coffee Shop nya sudah buka?” tanyaku terbata.
“Sudah kak! Silahkan,” jawabnya ramah.
Aku tersenyum dan perlahan berjalan menuju ruangan yang ia tunjuk. Aku melihat sekitar, menjamah setiap sudut ruang. Dan aku menemukan sebuah lorong yang di atasnya bertuliskan “Menuju Galeri”.