Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #5

4A (Sudut Pandang Aditya)

Hari ini Samalia mengajakku menemui salah seorang penderita TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, dan Herpes) di Gunung Kidul. Dalam proyek yang kami lakukan bersama, porsiku adalah membuat lukisan yang menggambarkan kisah perjuangan para penderita. Aku yakin ini akan menjadi proyek yang bagus. Harapannya buku Alia akan menjadi penyemangat untuk para penderita TORCH hidup bersama kumpulan infeksi yang mengerikan ini. Selain itu menjadi sarana sosialisasi dan edukasi pada masyarakat-masyarakat yang berisiko.

Telepon berdering.

“Ada apa Tara?” tanyaku pada Tara, asisten manajer galeri.

“Dia datang Mas! Perempuan yang kamu tunggu.” aku tersentak.

Secepat itu? Baru kemarin aku mendengar kabar kedatangannya dan sekarang dia mampir ke galeri ini.  

“Kenapa Kak Aditya?” tanya Alia.

“Ada yang ketinggalan Alia, kita balik ke galeri dulu ya!” ujarku. Entah mengapa dengan ringannya aku memutar kendali mobil dan kembali menuju galeri. Ada magnet yang seakan menarikku untuk segera bertemu dengannya. Meskipun sebenarnya hatiku belum mampu kembali melihat ia yang mungkin kini sudah lebih kuat dari sebelumnya.

---

Wimbledon, UK, setahun yang lalu

Tanganku bergetar membereskan pakaian. Haris dan Naraya sudah menunggu di luar. Hari ini kami akan kembali ke Indonesia. Dan hari ini juga Widuri dan suaminya akan pergi ke Amsterdam untuk melakukan pengobatan. Mungkin ini adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Semua akan selesai di sini. Aku harus melepaskan semuanya hari ini. Setidaknya apa yang tertunda belasan tahun lalu, bisa aku ungkap hari ini.

Sesak rasanya, ketika kita mencintai seseorang, tapi sulit sekali untuk jujur. Jujur pada hati dan jujur pada orang yang kita cintai. Meskipun aku sadar, perempuan yang aku cintai ini adalah perempuan yang juga tak akan pernah bisa aku miliki. Semua harapan sudah tidak ada lagi, tapi kenyataan harus dijelaskan. Keberanian ini sudah aku kumpulkan semalaman. Aku harus menyampaikannya.

Mungkin ini adalah hal terbodoh yang aku lakukan. Menyatakan yang tak pantas untuk dinyatakan. Tapi, hatikupun tak sanggup untuk membunuh apa yang tertumpuk selama ini. Dan kini aku percaya, bahwa cinta yang tulus memang tak selamanya harus memiliki. Aku bahagia melihatnya bahagia. Itu cukup. Dari dulu seperti itu. Ketika dia meninggalkanku tanpa kabar berita. Ketika perasaan rasanya tak akan pernah bertemu ujung. Lama untukku menerima, bahwa cinta yang aku rasakan padanya adalah cinta yang berbeda. Cinta yang memang tercipta bukan dari rasa nafsu untuk memiliki. Cinta yang tumbuh tanpa dipupuk. Cinta yang berjalan apa adanya. Dan cinta yang tak perlu dihapus dan dilupakan.

Kini aku memaksakan diri untuk melupakannya. Semakin dipaksa, semakin sulit. Aku tidak bisa membohongi perasaan ini. Tapi akupun tak bisa menikmati keadaan. Setiap harinya aku selalu memaksakan diri untuk terus mencoba melupakannya. Setiap harinya akupun selalu mengharapkan ia datang. Dan kini ia benar-benar datang. Ya, hanya dia yang ingin mengetahui sejarah lukisan yang memang aku lukis untuknya. Lukisan si bunga mahkota.

Bunga Mahkota? Aku teringat tentang blog yang diceritakan Alia tadi, ‘crownflowerstory.com’?

Lihat selengkapnya