“Kemmy, kamu di mana?”
Kakiku berjalan menjauhi Adit dan perempuan yang bernama Alia itu. Dengan langkah tergesa aku meninggalkan lorong dan kembali duduk di meja coffee shop yang di atasnya sudah terletak segelas minuman coklat yang tak lagi hangat. Aku menelpon Kemmy untuk mengalihkan perasaan yang campur aduk ini
“Wid, aku lagi di sekolah anakku. Kenapa?” balas Kemmy. Mataku melirik ke arah pintu kaca menuju lorong galeri. Tak tampak Adit dan perempuan itu keluar. Mungkin mereka masih berbincang di dalam.
“Wid?”
“Oh, maaf Kem. Kita bisa ketemu?” tanyaku.
“Aku jemput kamu di mana?” tawarnya.
“Nggak usah, aku aja yang datengin kamu. Ini aku sama Pade Wiryo.”
“Oke Wid, ketemuan di sekolah anakku aja ya!?” pinta Kemmy.
Aku membutuhkan sahabatku itu sekarang. Dia yang tahu tentang masa laluku dengan Adit. Dan dia juga selalu menodongku sejak di Belanda untuk bercerita semua tentang Adit dan pertemuan kami yang terasa begitu ajaib.
“Mbak!” aku memanggil salah satu pelayan. Aku sudahi duduk di kursi itu dan pergi meninggalkan galeri milik Adit. Mataku tak berhenti melirik ke arah lorong galeri. Berharap Adit segera keluar, tapi dia tak juga keluar. Bahkan sampai aku meninggalkan bangunan itu dan naik ke atas mobil.
“Jalan Pade! Kita ke sekolah anaknya Kemmy ya, dekat sini kok.”