Wid, mengapa kamu meminta aku datang ke sana? Ke tempat yang aku tak pernah datangi lagi sejak hari itu. Hari di mana aku tak pernah menyangka akan menjadi hari yang mengakhiri semuanya.
“Kak Aditya, Kak Widurinya maukan bantu saya?” tanya Alia.
“Pasti, dia orang yang baik. Sekarang kita temui dia dan nanti kamu jelaskan saja semua tentang project ini ya?” jawabku.
“Siap Kak! Huft, untung ya tadi aku cepat sadar kenal Kak Widuri itu di mana. Dia adalah salah satu inspirasi banyak penderita yang aku kenal. Kisahnya yang sempat diangkat di salah satu majalah kesehatan di Belanda, membuat penderita di tempat aku magang menjadi semangat. Karena pasti akan selalu ada harapan ketika kita berani untuk melawan ke-tidak-mungkinan dalam hidup. Bener nggak kak?” aku tersenyum padanya.
Sebenarnya aku tak mampu lagi berpikir jernih untuk apa yang harus aku lakukan. Widuri sudah memastikan semuanya. Dia sudah tahu bahwa lukisan itu ada. Lukisan yang aku lukis untuk menyatakan cinta padanya belasan tahun yang lalu. Tapi sekarang aku bisa apa? Aku tidak bisa meneruskan dan membiarkan kalimat itu bergelantungan di hatinya. Dia telah menjadi milik orang lain. Tidak ada dayaku untuk merebutnya. Ihsan telah membuat Widuri kuat berdiri di hadapanku tadi. Dia terlihat sangat sehat. Apa yang Ihsan lakukan tak akan pernah bisa aku tandingi.
“Kak Aditya? Kakak kenapa?” ujar Alia penasaran. Sepertinya ia menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiranku yang sedang kacau ini.
“Enggak Alia, saya nggak apa-apa! Oh ya maaf sebelumnya nih, panggil saya Bima saja ya?” tawarku.
“Kak Bima gitu? Ah, Alia sudah terbiasa manggil Kak Aditya, Kak Adit! Nggak apa apa kan?” Alia menolak saranku.
“Ya, terserah Alia saja.” jawabku datar.
Maafin aku Wid!
---
Kali Biru, Yogyakarta
Dari kejauhan aku melihat Widuri duduk dengan seorang perempuan. Rasanya aku mengenali perempuan itu. Perasaanku campur aduk. Entah mengapa aku jadi takut bertemu dengan Widuri. Takut ketika rindu ini tidak akan bisa dibendung lagi.
“Bimaaa!” teriak perempuan di samping Widuri. Aku dan Alia berjalan mendekati mereka. Widuri membalikkan badannya perlahan. Wajahnya dingin.
“Kamu Kemuning ya?” tanyaku.
“Ya Allah masing ingat ternyata ya sama aku kamu Bim! Iya aku Kemmy. Wah sejak kapan kamu berpenampilan seperti ini? Masuk di grup alumni nggak pernah ngomong. Tinggal di Jogja juga nggak pernah bilang?! Kamu itu sama aja kayak Widuri, ahli dalam hal hilang menghilang.” Kemmy menepuk bahuku kencang.