Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #8

7W (Sudut Pandang Widuri)

Berat sebenarnya untukku mengabulkan permintaan Samalia. Permintaan yang membuat badan ini terjebak berdampingan dengan yang lain. Dan salah satunya adalah dia, Aditya Bima. Aku terpaksa menguatkan diri dan berupaya mengeluarkan segala macam urusan pribadi yang berputar-putar di atas kepala ini. Ada satu misi baik yang diangkat dalam proyek ini oleh Samalia dan teman-temannya. Selama ini, aku hanya berjalan sendirian, bertemu dengan para penderita TORCH yang kuat lagi tangguh. Bahkan mereka juga menguatkanku. Sekarang, saatnya aku mengajak mereka untuk merasakan nikmatnya berpetualang bertemu dengan sosok-sosok yang menginspirasi namun luput dari pandangan banyak orang.

Hari ini aku akan bertemu dengan mereka yang akan meliput cerita tentang para penderita TORCH di Indonesia. Samalia berencana akan membukukan cerita ini dalam bentuk jurnal perjalanan. Kemarin aku telah menghubungi Ihsan, ia mengizinkanku mengikuti ekspedisi ini. Dia sangat bahagia dan bangga melihatku sangat bersemangat sekarang. Ihsan yakin dengan proyek ini aku bisa mewujudkan apa yang aku mimpikan sejak dulu. Sebenarnya dia juga ingin sekali ikut terlibat, namun pekerjaannya sebagai dokter anak membuatnya tak dapat menemani kami.

“Wid, jangan lupa ya obat-obatannya diminum teratur! Aku mengizinkan kamu dengan satu syarat, jaga kesehatan. Bagaimana seorang Widuri akan menguatkan yang lain kalau dia sendiri tak kuat? Iya kan?” pesan Ihsan selalu terngiang di kepalaku. Entah mengapa sekarang aku menganggap Ihsan lebih seperti seorang kakak. Berbeda rasanya dengan beberapa tahun lalu saat kami bahagia dalam ikatan pernikahan pertama, yang mana di sana ada cinta yang baru. Sekarang aku memilih untuk realistis, kondisi hari ini tidak sama dengan kemarin. Aku harus menguatkan hati, karena sekarang Ihsan bukan lagi milikku sepenuhnya. Ada Dinda dan anak-anaknya yang juga membutuhkan Ihsan. Dan apa yang telah Ihsan lakukan untukku setahun belakangan ini adalah buah dari kebaikan hati Dinda dan anak-anaknya. Dalam setahun belakangan Ihsan harus bolak-balik Indonesia-Amsterdam. Biaya dan keluangan waktunya tidak akan pernah bisa aku gantikan dengan apapun. Kini ketika aku sudah lebih baik dan kembali ke Indonesia, aku harus menyedekahkan waktuku bersamanya—untuk anak-anak dan istrinya yang juga telah menyedekahkan waktu mereka untukku dulu.

Proyek bersama Alia ini setidaknya dapat membantuku untuk memiliki rutinitas dan berusaha kembali produktif. Sehingga aku tak akan merasa sepi berjauhan dengan suamiku. Dan agaknya hati ini lebih lega membiarkan Ihsan dan keluarga kecilnya hidup normal seperti keluarga lainnya.

“Kak Widuri? Sudah di mana?” Alia mengirimkan pesan untukku. Segera aku hapus air mata yang tak terasa membasahi pipi sedari tadi,. “Sabar ya dek, sebentar lagi aku jalan,” balasku.

---

Circle K, Jalan Kaliurang

Dari balik kaca aku melihat Alia tengah berdiskusi bersama teman-temannya. Aku parkirkan mobil di depan waralaba yang sering dijadikan meeting point oleh banyak orang.

“Kak Widuri!” Alia melambaikan tangan dari balik kaca. Aku membalas lambaian tangannya sambil tersenyum menyapa.

Lihat selengkapnya