RS JIH, Yogyakarta
Rumah sakit adalah tempat yang sebenarnya sangat aku hindari. Entah mengapa aku merasa tempat ini menjadi tumpukan memori gelap dalam hidupku. Dua tahun belakangan setelah Mita meninggalkan kami, urusan kesehatan Naraya aku serahkan kepada Bulik—ibunya Haris yang juga adik almarhumah bunda. Beliau sudah seperti ibuku sendiri. Namun, kali ini ketika Bulik mengabari Naraya masuk ke IGD, ada naluri seorang ayah yang tak dapat aku bendung. Naraya yang biasanya sehat dan ceria, kini harus berteman dengan infus dan kamar inap yang mononton, dan dia pasti akan bosan lalu merengek minta pulang setelah ini.
“Bima, Bulik balik ke rumah sebentar ya! Haris lagi perjalanan ke sini. Ini mumpung Nay lagi tidur!” ujar Bulik sambil menepuk bahuku pelan. Aku mengangguk.
Suara orang mengetuk pintu.
Kami berdua saling bertatapan. “Mungkin itu Haris!” Bulik berjalanan menuju pintu.
Suara pintu dibuka.
“Ya Allah…, ini kamu nduk?” suara Bulik cukup keras dengan nada terkejut.
“Assalammu’alaikum Bulikku yang cantik, apa kabar?” ada suara perempuan yang tak pernah hilang dari ingatan. Badanku membeku. Sejenak aku tatap wajah Naraya dalam-dalam.
“Wa’alaikumsalam, ya Allah Bulik kangen banget sama kamu nduk!” aku mengintip dari balik gorden, tampak Bulik tengah berpelukan dengan perempuan itu. Hatiku berdegup. Rasanya tidak karuan, padahal harusnya ini semua berjalan biasa saja.