“Mbak Widuri?”
“Hai Haris, apa kabar? Gimana novelnya? Kabarnya belum selesai juga ya? Padahal sudah setahun lebih loh!” tanyaku memelankan suara dan beranjak mendekati Haris.
“Writers block-nya kelamaan mbak! Kurang doa dari Mbak Widuri. Oh ya mbak kok bisa di sini?” Haris menaruh tas berisi laptop di meja makan ruang inap VVIP ini. Ia duduk di sana.
“Rasanya kamu sudah tahu jawabannya,” jawabku menyindir Haris yang memang selalu ingin tahu sejak dulu.
“Iya sih ya!” ia tertawa kecil. Haris membuka laptopnya dan meminta izin padaku untuk menyelesaikan sesuatu.
“Permisi, dokter yang menangani anak ibu mau melakukan kunjungan rutin untuk mengevaluasi perkembangan Dik Naraya, boleh ya bu?” seorang perawat masuk. Aku mengangguk dan beranjak dari kursi, perlahan jalan mendekati Naraya.
Seorang dokter laki-laki paruh baya masuk dan tersenyum padaku.
“Ibunya ya?” tanya dokter itu sambil memeriksa kondisi fisik Naraya.
“Bukan Dok! Saya tantenya,” jawabku lancar sambil melirik Haris yang balik menatapku dengan tatapan mengejek.
“Oh, saya pikir ibunya Naraya. Begini bu, hasil laboratorium untuk pemeriksaan TORCHnya sudah keluar. Hasilnya memang kurang baik. Jadi untuk tindakan selanjutnya, saya butuh pembicaraan serius dengan orangtua atau walinya? Nanti perawat akan buatkan jadwal konsultasi dengan saya ya?” Dokter itu menatapku dalam dengan tatapan yang seakan berkata bahwa memang Naraya tidak dalam kondisi kesehatan yang baik. Aku mengangguk pelan.