“Jadi kapan enaknya kita ke Berau menurut kalian?”
“Sebaiknya tunggu kondisi anak Kak Aditya membaik. Saya sudah menghubungi kontak personal yang diberikan Dokter Widuri di Batu Putih, Berau. Mereka sudah setuju dengan konsep project kita. Dan ternyata di sana memang banyak kisah penderita TORCH yang heroik dan cocok untuk konsep project ini.” Anan serius menyampaikan hasil observasinya terhadap rencana ekspedisi kami ke Berau.
“Jadi semua sudah oke Kak Aditya! Tinggal kapan kita bersama tim bisa berangkat. Alia beruntung bisa ketemu Kak Widuri, dia memiliki banyak jaringan untuk mempertemukan kita dengan narasumber. Selain di Berau ada di beberapa kota lainnya,” ujar Alia memuji Widuri yang memang memiliki hobi menghilang dan menjelajahi pelosok. Sejak orangtuanya meninggal Widuri memilih untuk menjadi dokter yang berpetualang hingga pedalaman. Dia menemui pasien-pasien yang membutuhkannya. Pengalamannya sudah banyak dan tim Alia bergantung pada itu. Sedangkan aku? Apakah aku akan nyaman kembali berdekatan dengan Widuri? Bekerja satu tim dan akan melihat dia setiap hari disetiap perjalanan.
“Saya ikut kalian saja deh! Sesuai jadwal saja nggak masalah. Dua, tiga hari lagi insya Allah Naraya membaik. Lagian ada Bulik dan Haris yang bisa menjaga Naraya!” ujarku datar.
“Aamiin…, semoga anaknya Kak Aditya lekas membaik ya kak!” ujar Sabrang menepuk pundakku. Aku tersenyum tipis.
“Berarti tiket menuju Berau on schedule ya?” tanya Anan meyakinkan kami yang duduk di coffee shop rumah sakit ini. Serentak semua mengangguk. Pikiranku masih berantakkan sebenarnya, namun melihat mata anak muda yang memiliki jiwa sosial seperti mereka ini membuatku harus memaksa diri belajar mengenyahkan ego.
Handphone berdering. Nama Widuri muncul dilayar.
“Adit, bisa ke atas sekarang?” suaranya tenang, namun membuatku khawatir dan segera bergegas meninggalkan Alia dan kawan-kawannya. Dari jauh aku memberikan kode pada mereka, bahwa aku harus segera ke atas dan meminta mereka melanjutkan rapat persiapan ke Berau.
---