Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #12

11W (Sudut Pandang Widuri)

VU University Medical Center Amsterdam

Setahun yang lalu.

Untuk kesekian kalinya aku melihat layar handphone—ya sekadar memastikan, apakah Adit telah membalas pesan yang aku kirimkan? Tapi, lagi-lagi aku menelan rasa yang sama, rasa ketika melihat tanda ‘telah dibaca’ namun nyatanya yang bersangkutan di seberang sana belum berkenan untuk membalas. Kenapa sih Dit? Kenapa kamu harus mengirimkan gambar ini? Dan kini kamu enggan membalas pesan dan menjawab pertanyaanku?

Tak terasa air mata menetes begitu saja, mungkin ia tak tahan untuk meratapi alur cerita hidup yang terlalu rumit ini. Aku pandangin cincin yang melingkar untuk kedua kalinya di jari yang sama dan dipasangkan oleh orang yang sama. Mengapa cincin itu kini tak begitu berarti lagi rasanya di hati ini, tidak seperti dulu. Apa karena tulisan itu, tulisan yang Adit selipkan di ujung lukisannya? Lukisan yang ia buat belasan tahun yang lalu di saat aku memutuskan untuk meninggalkannya tanpa kabar?

“Widuri!” dari kejauhan Manda menyapaku yang masih tertunduk lesu di ruang tunggu. Ia datang menghampiri dengan segelas kopi dan sepotong roti.

“Kamu kenapa? Sarapan dulu yuk! Ihsan sudah mengurus semuanya dan insya Allah siang ini kamu bisa istirahat di ruang inap rumah sakit ini. Aku yakin kamu akan melewati ini semua dengan baik Wid!” Manda menyerahkan segelas kopi padaku. Aku hanya tersenyum kecil. Pikiranku masih melayang, entah mungkin sedang menyusul Aditya Bima ke Indonesia.

“Wid? Are you okay?” Manda menepuk bahuku pelan.

“Manda.., hmmm.., aku boleh tanya sesuatu?” Manda mengangguk. “Bima kontak kamu nggak?” Manda mengernyitkan dahinya.

“Ngontak kok! Mengabarkan kalau mereka sudah sampai Indonesia dan kembali beraktivitas seperti biasa. Kenapa Wid?” tanya Manda dengan tatapan yang tak biasa.

Lihat selengkapnya