Sejak aku meninggalkannya, siapa bilang aku tidak gelisah? Bahkan setiap malam aku selalu memandangi ruang chat terakhir kami. Aku memaksa diri untuk tidak membalas pertanyaan Widuri, karena pasti akan berat untuknya setelah ini. Dan memang konyolnya, mengapa aku harus mengirim foto lukisan itu? Apa benar aku jahat? Memberikan sesuatu yang pasti akan menggantung dipikiran seorang Widuri. Aku merasa butuh balik ke masa itu dan mengubah keadaan. Tapi sayang, itu tidak mungkin.
Handphone berdering.
Ada panggilan dari Manda. Aku menutup pintu kamar dan mencari tempat ternyaman untuk mendengar kabar dari Manda. Tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Aku terlalu takut mendengar kabar tentang Widuri dari Manda.
“Bima, di sana sudah malam ya?” terdengar suara Manda dari seberang sana.
“Iya Manda, kenapa? Ada apa? Widuri aman kan?” jawabku tergesa.
“Ada apa sih Bima? Kenapa kamu nggak langsung nanya kabari Widuri ke dia? Beberapa kali aku melihat dia memandangi ruang chat kalian. Tapi tidak mengetik apapun, lalu menangis. Dan sekarang kamu selalu menanyakan kabar Widuri lewat aku, ada apa?” tanya Manda.
Aku terdiam. Kerongkonganku mendadak tercekat. Ternyata benar, aku telah membuat Widuri susah. Mencintai macam apa ini!? Bukannya cinta itu harus membuat yang kita cintai bahagia? Seperti apa yang dilakukan Mita selama ini padaku.
“Halo?! Masih di sana Bima?” Manda meninggakan suaranya.
“Iya Manda, saya tidak tahu harus memulainya dari mana,” jawabku lirih.