Kondisi Naraya sudah mulai membaik. Sebelum ke Berau, aku memutuskan pergi ke Bandung untuk menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Aku tidak berpamitan pada Adit dan keluarganya. Biarkanlah aku dengan urusanku dan mereka dengan urusan mereka. Karena memang harusnya aku tak lagi melibatkan Adit dalam kehidupan pribadiku. Sejak kepulanganku dari pengobatan di Belanda. Aku memang merasa menjadi Widuri yang lebih baru. Namun tentang menjadi istri kedua Ihsan, masih sangat mengganjal sampai detik ini. Karena ternyata keluarga besarnya masih belum bisa menerima kehadiranku. Meskipun Dinda, istri sah Ihsan mengikhlaskan suaminya menikahiku—untuk merawat dan mengurus pengobatanku selama di Belanda.
Selama pengobatan yang menghabiskan waktu hampir satu tahun, Ihsan rela bolak balik Belanda-Indonesia untuk memastikan kedua istrinya baik-baik saja. Aku merasa sangat berhutang budi padanya. Dia yang tulus merawatku dan masih bertanggung jawab pada keluarganya. Begitu pula Dinda yang telah menganggapku sebagai kakaknya sendiri. Oleh karena itu aku berusaha tahu diri. Dari awal Ihsan menemaniku, aku selalu menyampaikan padanya, bahwa dia harus tetap setia pada satu perempuan saja. Karena berbagi itu sulit, meskipun mungkin Ihsan mampu. Tapi, dengan satu wanita tetap yang terbaik.
Sehari sebelum kami pulang ke Indonesia.
“Widuri, kamu berkata seperti ini bukan karena kamu memikirkan kami saja bukan? Tapi kamu juga memikirkan yang lain, yang mungkin masih memikirkanmu juga,” mendengar Ihsan berkata seperti itu, aku duduk sebentar, menghela napas dan berhenti melipat pakaian untuk kepulangan kami.
“Maksudnya?” tanyaku serius.
“Ada sesuatu yang terjadi di malam sebelum aku menikahi kamu lagi untuk kedua kalinya. Dia tulus padamu Wid! Dia memikirkan kehidupanmu, utuh. Tidak hanya memikirkan rasa yang terus berputar-putar dan mungkin tak akan ada ujungnya. Tapi demi kebahagiaanmu, dia relakan aku menikahimu lagi. Kamu beruntung pernah dicintai orang seperti Aditya Bima.”
Aku tercekat. Air mataku keluar begitu saja. Dia yang memang tidak pernah aku lupakan, sekalipun aku selalu memaksakan diri. Dia yang akhirnya harus aku hapus dari ingatan ini dengan cara berpura-pura dan menganggap dia tak pernah ada.
Ah, mendadak aku rindu.
“Wid, pernahkah kamu berpikir, bahwa jalan hidup kita hari ini akan berjalan seperti ini? Aku pikir tidak. Karena apa yang terjadi besok itu adalah misteri bukan? Akupun bingung, apakah setelah perceraian kita waktu itu, aku memang masih mencintaimu atau aku terobsesi karena merasa bersalah padamu? Hanya kesabaran Dinda yang membuat aku kuat menghadapi rasa bersalah yang terus menghantui. Dan sekarang setelah setahun kita habiskan bersama di sini. Aku yakin bahwa apa yang aku rasakan padamu—sebaliknyapun kamu, hanyalah sebatas rasa sayang. Karena rasa cintamu untuk dia terlalu besar, begitupun sebaliknya. Dan kini sepertinya hanya takdir yang sedang tak berpihak pada kalian,” jelas Ihsan sambil tersenyum menghapus airmata di pipiku.
Aku memeluk Ihsan sebagai rasa terima kasihku karena dia selalu berusaha mengerti tentang keadaanku—ya keadaan yang sangat sulit untuk dijalani. Keadaan yang membuatku selalu ingin pergi menghilang. Aku memang pernah jatuh cinta pada Ihsan, tapi dia benar, bukan cinta yang sama seperti apa yang pernah aku rasakan pada Adit. Tapi hidup tetap harus dijalani. Bersama Ihsan—dulu, aku mengubur Adit dalam-dalam, hingga aku lupa dia pernah ada. Sampai akhirnya takdirku dengan Ihsan selesai, maka bayangan Adit kembali menghantui. Aku mengelak dari kenyataan itu, karena itu aku menghilang dengan berpindah dari satu kota ke kota lain, hingga masuk ke pedalaman hutan untuk menghindari takdir. Hingga akhirnya aku kembali bertemu dengan Adit. Lelaki yang tengah berjuang menyelamatkan nyawa istri yang sangat ia cintai. Aku bahagia, ternyata dia bisa mencintai istrinya dan berhasil mengubur kenangan masa lalu bersamaku.
Bagiku cinta tidak sepicisan yang kebanyakan orang pikirkan. Mungkin sebelum aku menikah dengan Ihsan untuk pertama kali, aku berpikir kalau akan cukup sulit membunuh perasaanku pada Adit. Tapi, setelah aku jalani dengan tulus, aku bisa mencintai Ihsan dan hidup bahagia dengannya. Mungkin begitu pula yang dirasakan Adit kepada Mita. Tapi, ketika kami dipertemukan lagi dalam keadaan kosong, kamipun sulit menghindarkan perasaan yang sebenarnya kami paksakan terkubur sejak lama. Karena ternyata cinta itu bisa muncul kembali tanpa kami bongkar. Dan pada akhirnya, kini takdir sekali lagi tidak berpihak pada kami. Karena aku telah memilih untuk menikah lagi dengan Ihsan. Bagiku, bersama Adit adalah jatah masa lalu. Biarlah selalu begitu. Aku mencintainya lebih dari sekadar keinginan memilikinya. Aku ingin melihat Adit bahagia memiliki kehidupan baru, pastinya tanpa aku.