Widuri belum datang. Kami semua resah menunggu dia di Bandara. Alia tampak bolak-balik menelpon Widuri. Sejak kepulangannya dari Bandung, kami memang jarang melihat Widuri bersemangat di ruang chat yang kami buat untuk persiapan ke Berau. Entah apa yang terjadi, tapi semoga semua baik-baik saja.
“Alia? Bagaimana? Widuri sudah memberi kabar?” tanyaku pada Alia yang masih terlihat cemas.
“Handphonenya mati Kak Adit! Gimana ini?” dia semakin cemas. Sedangkan kami harus segera masuk.
Wid? Apa kamu menghilang lagi? Apa kamu nggak mau jalan sama aku?
“Itu Dokter Widuri bukan?” tanya Anan setengah berteriak. Serentak kami melihat ke arah yang ia tunjuk. Seorang perempuan berkerudung dengan kacamata yang khas mendekati kami sambil tersenyum.
Alia setengah berlari dan langsung memeluk perempuan itu erat. Rasa khawatirku telah diwakili oleh Alia. Widuri tersenyum melihatku. Sepertinya apa yang aku pikirkan salah. Bisa jadi Widuri ke Bandung meminta izin kepada suaminya untuk pergi bersama kami. Dan sekarang, perjalanan ini akan dimulai. Semoga kami tidak kembali terjebak. Karena konyol jika aku terjebak dengan istri orang.
“Kita langsung masuk aja ya!” ajak Alia tak sabar.
Wid, doakan aku bisa meredam rasa bahagia ketemu kamu lagi. Doakan aku bisa kuat di dekat kamu.
“Dit, Naraya sehat?” tanyanya santai.
“Sehat Alhamdulillah Wid, makanya aku bisa ikut!” jawabku canggung.
“Alia dan kawan-kawanya tampak senang sekali dengan ekspedisi kecil ini. Semoga aku tidak mengecewakan kalian. Tadi saat perjalanan ke sini aku sudah menelpon kawan-kawan di Berau yang sekiranya siap membantu kita. Sampai nggak sadar kalau handphoneku kehabisan baterai. Insya Allah amanlah ya selama kita di sana,” jelas Widuri berusaha santai. Akupun harus begitu. Mencoba santai.
Sambil menunggu boarding. Kami berusaha mencairkan suasana dengan membicarakan rencana selama di Berau. Sedangkan Alia dan teman-temannya tampak begitu sibuk mendokumentasikan perjalanan ini. Anak muda yang terlalu bersemangat!