Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #17

16A (Sudut Pandang Aditya)

Hal bodoh apa yang sudah aku lakukan? Apakah pantas aku menyampaikan rindu kepada istri orang? Apakah memang perasaan itu kadang bisa melanggar logika dan norma? Tidak seharusnya aku mengatakan itu pada Widuri. Aku telah merelakan dia untuk menjadi milik Ihsan, maka aku juga harus bisa menjaga perasaan Ihsan. Setidaknya dia pernah dan sedang menjadi laki-laki yang berhasil membuat Widuri bahagia. Kata orang, cinta itu bisa di hapus, namun rindu yang sulit untuk di redam. Dan keadaanlah yang mendukung kami kini saling terbawa perasaan. Bagaimana caranya aku berpura-pura di depan Widuri, agar keadaan ke depan tidak semakin memburuk. Bagaimana caranya aku bisa benar-benar menghapus dia dari ingatan? Apakah bisa aku paksakan? Atau aku cukup berpura-pura saja, sampai aku lupa, bahwa aku sedang berpura-pura.

“Kak Aditya?” Alia datang membawakanku segelas susu hangat.

“Makasi Alia. Oh ya, besok pagi kita jadinya ke mana dulu?” tanyaku membelah kebekuan malam ini.

“Kata Kak Widuri, kita akan menemui Ibu Dari dan Bapak Ian, mereka adalah pasangan suami istri yang belum memiliki anak selama 20 tahun ini. Usia mereka sekitar 50 tahun. Kita ingin mengulik bagaimana mereka bisa saling setia dan meyakinkan satu sama lain. Karena sangat sulit mempertahankan rasa cinta yang sama selama itu kan? Apalagi Ibu Dari tak juga bisa memiliki keturunan,” jelas Alia.

Tidak Alia. Tidak sulit bagiku mempertahankan rasa cinta. Malah sebaliknya, terlalu sulit untuk meruntuhkan rasa ini.

“Kak Aditya enggak tidur? Sudah malam loh! Anan, Abang, sama Ata udah pelor tuh! Mereka kayaknya tepar karena barusan sampai kita langsung ambil gambar untuk stok,” jelas Alia sambil melihat sahabat-sahabatnya yang tidur di ruang tengah rumah yang kami sewa.

“Widuri sudah istirahat?” tanyaku pelan. Alia mengangguk.

“Mungkin, yang penting sekarang Kak Aditya juga harus istirahat ya! Besok kita butuh energi yang penuh. Aku ke kamar dulu ya kak,” Alia tersenyum dingin dan beranjak meninggalkanku. Aku pun mengangguk dan menyeruput susu hangat yang ia bawakan. Entah mengapa sejak Bulik mengatakan bahwa ia kenal baik dengan Widuri, sikap Alia mendadak berubah. Apa mungkin yang dikatakan Haris benar? Bahwa Alia menaruh hati padaku. Sikapnya kini bisa saja menunjukkan bahwa ia sedang cemburu aku kembali dekat dengan Widuri.

---

Sudah pukul dua belas. Mata ini tak jua mau diajak tidur. Sebegitu beratkah aku memikirkan ini? Apa sebaiknya sekarang aku shalat untuk menenangkan diri? Mungkin Allah bisa membantuku untuk tenang menyikapi keadaan ini.

“Adit? Kamu belum tidur?” suara itu, suaranya. Ya Allah, baru saja aku ingin menenangkan diri. Mengapa sekarang dia muncul lagi?

“Dit?” dia mendekatiku.

“Hai Wid, kamu ngapain? Kebangun?” tanyaku berusaha menyembunyikan kecanggungan.

Lihat selengkapnya