Menanti Hujan Teduh

Isti Anindya
Chapter #18

17W (Sudut Pandang Widuri)

Rumah Bapak Ian dan Ibu Dari, Batu Putih, Berau

        

“Dokter Widuri Elok Rembulan, selamat datang! Tidak menyangka kita akan berjumpa lagi,” ujar Pak Ian dengan suara paraunya yang khas. Kami di sambut dengan ramah. Ibu Dari yang tergopoh dari dapur menghampiriku dan langsung memelukku. Ah, sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka. Aku sangat merindukan suasana seperti ini. Disaat aku bertemu langsung dengan penderita TORCH yang lain dan disaat aku benar-benar bahagia berbagi dengan mereka.

“Semua sayang Dokter Widuri dan merasa kehilangan saat Dokter harus pindah ke Lampung,” ujar Pak Ian menyambung cerita. Sedangkan Ibu Dari masih menangis haru merangkulku.

“Terima kasih ya Bapak Ian dan Ibu Dari sudah berkenan kami kunjungi lagi,” ujarku sambil menatap yang lain.

“Perkenalkan Pak, saya Bima, Aditya Bima. Istri saya dua tahun yang lalu juga meninggal karena TORCH, jadi setidaknya bapak masih beruntung, karena masih ada istri yang menemani.” Adit bersalaman dengan Pak Ian, dengan tatapan sendu.

“Kalau yang ini adalah ketua tim ekspedisi kita, namanya Samalia, dia dan kawan-kawannya akan meliput kehidupan para penderita TORCH di Indonesia. Insya Allah cerita bapak dan ibu, serta keluarga yang lain bisa memberi inspirasi dan manfaat untuk banyak orang, tidak hanya di Indonesia tapi di dunia,” semua serentak mengamini. Entah mengapa, seketika aku merasa sangat bersemangat. Terima kasih Alia, Terima kasih Adit!

Alia dan teman-temannya mulai menyiapkan keperluan liputan. Setelah menjelaskan pada kedua narasumber, aku memilih untuk menunggu di luar. Kembali mengenang atmosfer desa kecil di Pulau Kalimantan nan luas ini. Banyak warga yang berkumpul di sekitaran rumah Bapak Ian. Aku menyapanya satu persatu, sesekali menggunakan bahasa kampung mereka.

Dari kejauhan aku melihat Adit sedang melihat ke arahku, sambil ia memainkan pensil di atas sketch book  yang ia bawa untuk melukiskan kehidupan Bapak Ian dan keluarganya, agar buku yang nanti Alia tulis menjadi lebih kuat dengan adanya gambar yang dilukis oleh Adit. Ada tatapan aneh yang aku rasakan matanya seperti ingin menanyakan sesuatu padaku. Aku perlahan mendekati Adit, berharap setelah ini wajah gundah itu bisa kembali normal. Karena Adit harus fokus melukis cerita di keluarga pertama yang kita kunjungi ini.

“Hai Dit, kamu kenapa?” sapaku sambil mengambil bangku plastik dan duduk di sampingnya. Dia masih diam.

Lihat selengkapnya