Widuri, kenapa takdir ini harus menjadi milikmu? Kenapa yang terjadi padamu tidak dibagi saja pada yang lain. Kenapa ini semua tertumpuk di jalan takdirmu?
Dari kejauhan aku melihatnya seperti orang yang paling bahagia. Bersatu dengan masyarakat dan memberikan rasa kasih yang tulus. Ihsan beruntung menemukan Widuri. Jalan takdir memang untuk mereka, bukan untukku. Meskipun rasanya aku ingin sekali menemani Widuri pindah dari satu desa ke desa lain untuk mengedukasi masyarakat tanpa lelah dan menumpahkan ketulusan yang berlimpah. Tapi apa daya, aku bukan siapa-siapa. Tadi harusnya aku juga tidak bertanya terlalu dalam tentang Widuri yang kehilangan rahimnya. Aku tidak berhak. Tapi, itu semua terjadi begitu saja tanpa dapat aku kendalikan. Rasa sedih dan rasa kecewa karena aku tidak mengetahui, sebegitu payahnya Widuri berusaha untuk tetap hidup, padahal dia ada pilihan untuk menyerah.
“Kak Adit, sudah selesai?” Alia memecah fokusku memandangi Widuri.
“Eh Alia, sudah kok. Seperti ini?” tanyaku memperlihatkan gambar yang baru saja aku lukis.
“Bagus Kak! Sesuai dengan kisah mereka berdua. Apa jadinya, jika tidak ada Kak Widuri ya Kak!? Dan apa jadinya juga kalau nggak ada kakak ?!” Alia menatapku dengan sinis dan memberikan senyum tipis yang sekadarnya. Dari awal aku bertemu dengan gadis ini, ada sesuatu yang lain sepertinya yang ingin dia sampaikan. Sampai pada akhirnya beberapa bulan belakangan kami menjadi sangat dekat. Alia sering bermain dengan Naraya. Dan dia juga terlalu berlebihan memberikan perhatian kepadaku. Namun, pikiran hatiku masih sulit dipecah untuk memberikan sedikit ruang untuk Alia. Karena Widuri ada di sini, di hatiku. Dia yang dari awal selalu menjadi yang terbaik dan yang selalu mampu merenggut fokusku.
“Kamu langsung simpan saja ya Alia! Saya takut tercecer nanti.” Aku merobek kertas dan memberikan pada Alia.
“Baik Kak! Oh ya, besok sepertinya kita akan langsung liputan dua keluarga. Mungkin nggak ya kak? Soalnya anak-anak lusa mau mengkhusus-kan waktu untuk berlibur sebelum kita balik ke Yogyakarta,” ujar Alia semangat.
“Coba tanya Kak Widuri sana! Semoga ada waktu dan kalian bisa berlibur di sini,” Jawabku datar.
“Kak Widuri!” Alia memanggil Widuri dari jauh dan Widuri mendekati kami dengan senyuman yang khas.
“Besok kita berangkat lebih pagi dan langsung ke dua tempat bisa?” tanya Alia.
“Hmm, begini Alia, untuk Ibu Hilda mungkin kita bisa besok pagi-pagi, karena lokasinya sekitar sini juga. Kalau keluarga Bapak Arman sudah pindah, tapi tidak terlalu jauhlah, sekitar 8 KM dari sini,” ujar Widuri sambil memikirkan solusi terbaik.