Puskesmas Batu Putih, Berau.
Sejak kejadian semalam, mata Adit tak lepas memandangiku. Ke manapun aku berjalan, dia seperti berjaga dan bersiaga. Padahal berkali-kali aku memastikan padanya, bahwa aku baik-baik saja. Tapi memang begitulah seorang Aditya Bima yang aku kenal sejak belasan tahun yang lalu. Entah apa yang membuatnya begitu protektif. Apa karena sedari dulu dia terbiasa menjaga bunda dan Mala—dua perempuan yang sangat ia lindungi?
“Dokter Widuri? Ah, saya rindu sekali.” Ibu Hilda memelukku erat. Di susul kepala puskesmas yang juga sangat mengenalku. Mereka mengerubungiku dan berharap aku bisa bercerita banyak pada mereka. Ya! Aku dulu pernah bekerja di sini selama dalam pelarian. Ibu Hilda yang ditinggal suaminya adalah rekanku untuk melayani ibu hamil yang akan melahirkan. Meskipun aku seorang dokter kandungan, tapi aku banyak belajar dari ketangguhan Ibu Hilda. Beliau juga yang menguatkanku, ketika aku menceritakan bahwa selama melayani pasien di spesialis kandungan aku hanya berteori, karena aku belum pernah merasakan hamil dan melahirkan. Ini menyedihkan. Namun, saat itu Ibu Hilda menguatkanku, dan dari sanalah aku tahu perjuangan beliau yang mengalami keguguran sampai 12 kali.
“Saya juga sangat rindu sekali dengan tempat ini dan kalian semua!” aku kembali memeluk mereka semua.
“Oh ya, ini teman-teman saya, tolong di bantu ya?” pintaku pada Ibu Hilda. Dia mengangguk dan mengajak Alia dan kawan-kawannya ke ruangan lantai dua. Sedangkan Adit tidak mengikuti mereka.
“Dit?” tanyaku sambil meminta dia untuk ikut ibu Hilda.
“Kamu?” tanyanya khawatir.
“Dit, ini puskesmas! Apapun yang terjadi akan ditangani dengan baik. Kamu percaya sama aku ya? Sekarang ke atas dan lakukan tugasmu!” aku memaksa Adit, dia ragu.
“Kak Aditya!” Alia memanggilnya dari tangga. Kini, Adit tidak bisa mengelak. Aku tersenyum menang padanya.
“Bawa tisu yang banyak!” ujarnya berbisik padaku dan perlahan beranjak menyusul yang lain. Aku tersenyum. Dan disatu sisi aku bahagia, ternyata Adit masih peduli padaku.
---