Entah mengapa aku merasa sangat wajar jika diri ini khawatir dengan kesehatan Widuri. Entah mengapa perjalanan ini seakan membawaku kembali mundur ke awal pertemuan kami. Bagaimana pada akhirnya kami akrab dan menjadi teman baik. Perasaan ini tidak lagi mampu aku tahan. Apa adanya aku pada Widuri, dan mungkin apa adanya Widuri kepadaku. Karena, sebenarnya rasa yang kami rasakan tidak serumit yang dilihat orang lain. Aku mencintai Widuri, dan mungkin Widuri juga. Kami ingin sama-sama bahagia. Dan aku bahagia melihat Widuri bersama Ihsan, seperti mungkin Widuri juga bahagia melihat aku bersama Mita. Kami seperti sepasang manusia yang memilih melawan hujan dengan payung masing-masing. Seakan tak sabar untuk menanti hujan teduh untuk berjalan di atas payung yang sama.
Setahun yang lalu, ketika aku bertemu Widuri di London, aku merasa kerinduan kami melebur mengikuti alur. Ketika kami sama-sama sendiri. Di sana, aku merasa perlu memperjuangkan apa yang selama ini aku rasakan. Tapi aku terlalu naif menilai takdir. Aku memilih membiarkan Widuri untuk tetap hidup bersama orang yang yang dapat memastikan Widuri bisa sembuh dari segalam macam penyakitnya itu. Dan aku pikir, Ihsan adalah orang yang tepat. Dan kini apa yang aku harapkan terjadi. Widuri kembali menjadi Widuri yang baru. Itu saja sudah membuatku sangat bahagia.
“Alia, saya boleh pindah ke belakang?” suara Widuri menyentakkan lamunanku.
“Kenapa Kak?” tanya Alia.
Mobil berhenti.
“Saya ingin menghindari sengatan matahari,” jawabnya.
“Baik kak, tapi di tengahkan sempit banget, kami bertiga. Nggak apa apa?” tawar Alia.
“Aku pindah ke belakang aja Al! Biar Kak Widuri sama Kak Aditya di tengah. Jadi agak lebih leluasa,” usul Ata.
“Kalian nggak apa-apa?” Alia memastikan dengan airmuka yang tak seperti biasanya. Seperti ada rasa keberatan Widuri duduk di sampingku.
“Aman! Badan kita kan kecil-kecil, muatlah!” jelas Anan ramah.
Dan kamipun berpindah tempat. Widuri duduk sejajar denganku. Dia memberikan senyum yang lemah. Aku berbisik lirih padanya, “Kamu tidur sana!” dia mengangguk lemas.
Perjalanan dilanjutkan. Widuri benar-benar tertidur. Sepertinya dia sangat lelah sekali. Aku melihat Alia yang sesekali melihat ke belakang, memastikan semua baik-baik saja.
“Sepertinya Kak Widuri kelelahan ya kak?” tanya Alia berbasa-basi padaku.