Rasanya badan ini mulai tak karuan. Aku lupa meminum beberapa jenis obat yang telah disiapkan oleh Ihsan. Aku lupa, kalau sekarang aku hanya memiliki diri ini. Tidak ada lagi yang mengingatkan. Kini yang dapat menyelamatkan hidupku adalah diriku sendiri. Dari hari ini harusnya aku sadar, bahwa aku harus menyisakan waktu untuk memikirkan diriku sendiri.
“Sudah enakan Dokter Widuri?” Ibu Arman masuk membawakan secangkir air putih hangat.
“Alhamdulillah lebih segar bu. Maaf saya jadi merepotkan ini, pakai numpang tidur segala, teman-teman saya sudah selesai?” tanyaku sambil mengambil beberapa butir obat dan langsung menenggaknya.
“Lagi seru-serunya itu cerita sama bapak. Katanya kalian habis ini mau ke Labuan Cermin?” Ibu Arman beranjak duduk di sampingku.
“Iya bu, anak-anak muda itu tidak akan bisa bahagia tanpa tempat wisata.” Ibu Arman tertawa kecil.
“Ini sudah sore, apa sebaiknya tidak nanti pagi saja berangkatnya?” tawar Ibu Arman.
“Hmmm, kami sudah pesan penginapan kok bu di sana! Jadi sebaiknya sebelum gelap, sudah bisa sampai di sana. Kasian kami terlalu lama merepotkan. Oh ya bu, saya izin melihat mereka dulu ya!” aku perlahan berdiri.
“Sini ibu bantu!” Ibu Arman memapahku perlahan.
Di ruang tengah tampak Alia dan kawan-kawannya tengah merapikan alat rekam mereka. Mataku mencari Adit, dia tidak ada di dalam rumah. Entah mengapa aku merasa perlu mencarinya.
“Kak Widuri udah enakan?” tanya Alia sambil membereskan dokumen-dokumen yang telah ia kumpulkan. Termasuk selembar lukisan yang Adit sudah selesaikan.
“Is it a wrap?” tanyaku mendekatinya dengan wajah antusias.