Penginapan di Biduk-biduk, Berau.
Widuri memesan penginapan di pinggir pantai untuk kami. Kurang lebih 1-2 KM dari pelabuhan kecil tempat kami berangkat besok pagi melihat danau dua rasa yang sangat terkenal itu. Karena masuk ke sana harus antri dan sangat dibatasi waktunya. Widuri memilih menggunakan jaringan pertemanannya untuk menjamu kami di sini, di surga lautan indah di pesisir timur Pulau Kalimantan.
“Penginapannya di tepi pantai banget kak?” ujar Alia memeluk Widuri dengan rasa senang yang tak terbilang. Anak-anak muda ini terlihat sangat antusias, meskipun malam sudah datang dan dinginnya angin pantai menusuk pelan-pelan.
“Sebaiknya kalian semua istirahat untuk besok, agar pagi bisa lebih fit menuju Labuan Cermin!” sela Pak Ujang sambil membantu kami menurunkan barang. Aku mengangguk, begitu pula Widuri. Dia menatapku agak lama, seakan menagih janji untuk cerita yang masih menggantung.
Kami membiarkan Alia dan kawan-kawannya masuk duluan. Aku mengajak Widuri berjalan sedikit ke arah pantai menjauhi rumah. Seperti mengulang apa yang terjadi dua tahun yang lalu, saat aku tak sengaja menemukannya di Taman Mangrove. Dan seperti biasa, Widuri selalu menjadi pendengar yang baik. Kami memilih duduk di sebatang pohon kelapa yang telah rubuh. Dari sana kami dapat melihat bulan yang tengah bersinar indah dengan bintang yang tampaknya enggan muncul.
“Jadi, kamu kenapa Dit? Kamu baik-baik aja kan Dit?” tanyanya memulai pembicaraan malam itu.
“Anakku Wid, tadi Haris mengabarkan padaku bahwa Naraya di diagnosa autis. Hati ayah mana yang tidak runtuh mendengar itu semua?” ujarku dengan suara parau. Widuri mengusap pundakku pelan.
“Dit, memiliki anak dengan Autism Spectrum Disorders itu adalah anugerah dari Allah. Kamu bayangin deh, dari sekian banyak orangtua yang bisa Allah titipkan. Tapi Allah memilih kamu! Aku yakin Naraya akan menjadi bulan yang bersinar untuk ayahnya, seperti bulan itu, indah mewarnai langit kelam,” ujarnya sambil menunjukkan bulan yang mungkin sedang memperhatikan kami.