Labuan Cermin, Biduk-biduk, Berau.
Pagi ini wajah Adit masih murung, bahkan lebih murung. Sejak dari penginapan sampai naik ke kapal kecil yang membawa kami ke Labuan Cermin ini, dia memilih lebih banyak diam. Meskipun sesekali Alia mengajaknya masuk ke dalam lensa kamera untuk menjadi bagian dari video blog yang mereka buat. Apakah salah jika aku menyarankan dia untuk kembali bahagia seperti dulu? Atau seharusnya aku sampaikan pada Adit, kalau aku bukan lagi istri Ihsan. Tapi, apakah dengan itu Adit akan bahagia ketika aku menunjukkan bahwa cintanya selama ini tak pernah bertepuk sebelah tangan?
Hari ini perasaanku tidak serjenih danau yang akan kami kunjungi. Keindahan alam yang memanjakan mata tidak lagi bisa menenangkan hati yang gelisah ini. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya?
“Kak Widuri lihat ke sini dong!” Ata mengagetkanku. Spontan aku melihat ke kamera dengan wajah yang datar. Alia yang duduk di sebelah Adit menatapku dengan tatapan yang aneh. Lanjut ia menatap ke Adit, seakan tahu kalau ada sesuatu di antara kami.
“Kita foto dulu yuk semuanya!” ajak Ata mengumpulkan kami. Aku memaksa diri ini untuk tersenyum. Begitu pula Adit.
“Eh lihat! Kita sudah sampai!” teriak Abang melihat ke arah suatu tempat yang sangat indah. Benar-benar indah. Aku tidak menyangka Labuan Cermin yang menjadi salah satu destinasi yang ingin aku kunjungi dulu, ternyata aslinya seindah ini. Kami semua terpana melihat surga Indonesia yang kini sedang menunjukkan kesempurnaannya.
Di danau ini, katanya ada dua rasa ; tawar dan asin. Rasa asin tersimpan di dasar danau, sedangkan rasa tawar mengambang di atasnya. Dua rasa yang dipisahkan karena jenis berat yang sulit menyatukan keduanya. Mungkin seperti apa yang aku rasakan dengan Adit. Pertanyaan besar di dalam kepalaku yang selalu berputar-putar. Apakah rasa yang kami rasakan selama ini sama? Atau jangan-jangan berbeda seperti rasa di danau ini. Rasa yang tidak akan pernah bersatu.
“Kamu ikut Wid?” Adit menyapaku dengan wajah datar. Terlihat sedang berbasa-basi. Aku menggelengkan kepala dan memberikan tanda untuk mempersilahkan Adit ikut dengan yang lain. Aku memilih menunggu di tepian. Melihat sekeliling pepohonan hijau yang teduh. Air danau sepertinya sangat dingin, persis seperti apa yang aku dan Adit rasakan kini—dingin.
“Kak Aditya!” Alia memanggil dan dengan langkah yang berat, Adit menyusul mereka.