Aku mengenggam tangan Widuri dan membantunya naik ke atas perahu. Mungkin ini adalah momen yang tepat untukku menjelaskan tentang lukisan itu. Lukisan yang mungkin membuat Widuri setahun belakangan ini bertanya-tanya tentang maksud tulisan yang ada di ujung gambar itu. Sudah saatnya kami harus sama-sama tahu sekarang, karena 16 tahun itu sudah terlalu lama. Dan aku pikir, ke depannya ini akan membuat hubungan kami jauh lebih baik. Jika pada akhirnya rasa yang kami rasakan adalah rasa yang ternyata berbeda. Setidaknya kami bisa menjadi teman. Jika samapun, akan tetap begitu! Karena Widuri kini adalah milik Ihsan.
“Dit, aku minta maaf soal semalam, jika itu membuatmu tersinggung. Mungkin benar, aku terlalu sok tahu!” ujarnya memulai percakapan.
“Syukurlah kamu sadar Wid!” ujarku datar.
“Oh ya Dit, boleh aku bicara duluan? Ada sesuatu yang penting yang mau,” dia menatapku dalam.
“Apa?” mendadak dinginnya danau ini langsung menusuk kulitku. Tidak ada lagi waktu untuk menebak-nebak apa yang akan disampaikan Widuri.
“Cincin yang kamu tanyakan, sebenarnya memang sudah aku lepas Dit! Tepat sebelum aku berangkat dengan kalian semua.” Widuri memegang jari manisnya yang kosong. Sedangkan aku kini seperti dapat merasakan jantungnya yang juga berdetak tak beraturan. Maksudnya Wid, kamu?
“Aku mencintai Ihsan dan keluarganya. Caraku mencintai mereka adalah dengan membiarkan mereka hidup normal seperti yang lain. Memiliki dua ibu, tentu akan membuat anak-anak itu bingung.” Widuri tersenyum menatap ke arahku. Aku tak membalasnya, karena jujur aku terpaku dengan semua yang ia sampaikan.
“Jadi, kamu dan Ihsan?” tanyaku gugup.
“Ya, dia telah menceraikanku untuk kedua kalinya. Tapi, kali ini aku merasa lega dan bahagia. Karena aku bisa melihat Ihsan bahagia dengan takdir hidupnya.” Widuri begitu lancar menyampaikan semuanya padaku. Sedangkan aku? Aku gugup dalam kecanggungan yang menganggu.
“Dit? Kalau kamu mau menyampaikan apa?” tanyanya menodongku dengan kejam. Aku yang belum bisa bernapas dengan normal. Mungkin sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk aku menyampaikan semua yang selama ini tertunda untuk disampaikan. Tapi, entah mengapa seperti ada yang menahanku.
Aku menatap Widuri dalam-dalam. Dia yang ternyata bukan lagi istri orang. Ah, mengapa aku begitu payah. Mengapa mendadak semua kelu. Kami tidak muda lagi! Usia ini bukan usia anak SMA yang grogi menyatakan cinta.
“Kak Aditya, kami sudah selesai diving-nya!” seru Alia naik ke atas permukaan bersama kawan-kawannya. Widuri refleks berdiri dan menyapa mereka.
“Kalian masih mau lanjut atau kita balik?” tawarku menutupi rasa gugup menghadapi situasi ini.