Bandar Udara Kalimarau, Berau
Teka-teki yang mengangguku selama ini akhirnya terjawab kemarin. Aku mendengar langsung dari mulut Adit tentang lukisan itu. Lalu, setelah ini apakah semua akan tuntas begitu saja? Apakah ‘pernah dan masih’ yang Adit sampaikan itu akan sangat berarti untuk kelanjutan hidup kami ke depan? Entah mengapa tiba-tiba Labuan Cermin menjadi tempat yang begitu berkesan untukku. Aku bahagia, sangat bahagia!—tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Tak ada yang lebih membahagiakan di dunia ini, melebihi rasa ketika cinta berbalas. Cinta pada siapapun, termasuk kepada Tuhan pencipta alam semesta. Hamba mana yang tak bahagia ketika cinta mereka kepada Allahnya berbalas. Sejauh kakiku melangkah selama ini, sejauh itupula aku berusaha mengumpulkan cinta yang diberikan banyak orang kepadaku—termasuk Ihsan. Dia telah memberikan cinta yang berbeda dari sebelumnya.
Lalu, selama ini cinta seperti apa yang sebenarnya aku rasakan pada Adit? Banyak orang yang mudah mengatakan cinta, tapi banyak pula yang ragu dan menahan untuk mengungkapkannya. Cintaku pada Adit adalah cinta yang tidak akan pernah mampu terdefinisikan. Sedangkan cintaku pada Ihsan adalah cinta yang dipenuhi dengan rasa kekaguman pada apa yang dia miliki dan pernah berikan kepadaku dulu. Ada yang mengatakan, cinta akan menjadi obat yang menyembuhkan jika kita meletakkan cinta itu sesuai pada tempatnya. Sebaliknya, cinta bisa menjadi racun yang mematikan jika kita tidak bijak menaruhnya pada posisi yang seharusnya.
Aku merasa cintaku pada Adit dari dulu berada di rak yang tepat. Tidak pernah bergeser barang sedikitpun. Tidak sedikitpun terusik walaupun jalan takdir tidak pernah berpihak pada kami. Apakah semua orang bisa melakukan ini? Rasanya sulit untuk diterima akal sehat. Namun, jika banyak orang yang mampu melakukan ini, tentu tak akan ada ambisi untuk memiliki dan tak ada kisah yang harus dikorbankan. Mungkin bagi sebagian orang yang pernah hadir di masa lalu aku dan Adit cukup menjadi saksi apa yang terjadi di antara kami dan tentu akan menyayangkan mengapa takdir tidak berpihak pada kami. Tapi pertanyaanya, apakah jika takdir memihak kepada kami, kami pasti akan bahagia? Jawabannya, belum tentu. Karena yang kita rasakan hari ini belum tentu sama dengan apa yang akan kita rasakan esok ataupun kemarin.
Seandainya waktu dapat dipukul mundur kembali ke masa lalu, tentu aku akan tetap memilih, biarlah tetap seperti ini. Karena, tidak perlu Widuri dan Adit bersatu dengan cinta yang mereka miliki. Mereka hanya perlu menjalani takdirnya masing-masing dengan baik. Karena jika takdir kelak memaksa mereka bertemu, mereka akan bertemu. Dan kini, apakah ada takdir untuk kami? Bisa iya, bisa juga tidak. Tugasku hari ini adalah melewati yang harus dilewati dan fokus berjalan di atas jalan yang nyata.
“Kak Widuri sudah baikan ya sama Kak Adit?” Alia mendadak berpindah duduk di sampingku. Adit, Anan, Abang, dan Ata sedang salat jumat. Aku dan Alia memilih menunggu di ruang tunggu bandara. Menurut jadwal, satu setengah jam lagi pesawat kami akan bertolak ke Balikpapan dan setelah itu lanjut ke Yogyakarta.
“Baikan? Memang siapa yang berantem Al?” tanyaku membalas senyum Alia.
“Kak, kakak ternyata sama Kak Adit pernah dekat saat SMA ya? Kakak bukan mantan kekasih Kak Adit kan?” Alia to the point.
“Kekasih? Ya enggaklah Alia! Mimpi apa aku pernah pacaran sama Adit Bulik yang cerita ya? Jangan dipercaya, mesti Bulik yang cerita ya?!” aku tertawa lepas.
Alia menatapku serius, tergurat rasa takut di wajahnya mengetahui kami memiliki hubungan di masa lalu. Aku menepuk bahu gadis cantik yang selalu ceria dan penuh semangat itu.
“Kamu suka ya sama Kak Aditya-mu itu?” tanyaku membalas tatapan seriusnya.
“Iya.” Jawab Alia tegas. Aku pikir dia akan mengelak. Tapi, gadis ini terlalu jujur dan apa adanya. Aku melihat Mita ada di dalam diri Alia. Mungkin benar intuisiku, dia cocok untuk menggantikan posisi Mita.