Bandar Udara Adi Soecipto, Yogyakarta.
Rasanya aku cukup berhasil menghibur Widuri. Setelah apa yang dia bagi denganku tadi, entah mengapa aku menjadi yakin, bahwa hubungan kami yang belum selesai belasan tahun yang lalu, sekarang bisa disambung kembali. Setelah perbincangan yang cukup serius terjadi di antara kami, aku berhasil membuatnya tertawa lagi dengan candaan sederhanaku yang selalu menjadi senjata meluluhkan dia dari dulu. Terima kasih Widuri, kamu telah kembali.
“Kak Aditya, aku ikut kakak ke galeri ya?” Alia menepuk bahuku pelan. Aku spontan menoleh, begitupun Widuri.
“Loh tadi katanya mau bareng ketiga temanmu itu?” tanyaku.
“Hmmm, aku mau ketemu Naraya dulu. Dia di galeri kan?” Alia menatap dengan tatapan penuh perhatian sambil melirik sinis Widuri. Aku melihat Widuri, dia berusaha tersenyum dan memaklumi.
“Kak Widuri ke mana?” tanya Alia kepada Widuri yang tadinya berencana pulang bersamaku.
“Hmmm, aku bisa naik taksi ke rumah. Kalian duluan saja!” ujar Widuri mengalah. Aku memberikan kode padanya, untuk ikut saja bersama kami. Tapi Widuri tersenyum penuh ejekkan. Hal ini yang kadang membuatku sedikit ragu, tentang apa yang sebenarnya dirasakan Widuri. Setelah dia mengetahui perasaanku padanya, masa dia tega membiarkan aku dengan Alia?
“Bareng aja kak, bareng kita!” tawar Alia berbasa-basi. Aku mengangguk dengan mimik memaksa Widuri. Dia tertawa kecil.
“Baiklah,” ujarnya merangkul tangan Alia dan berjalan lebih dulu meninggalkanku.
Wid, Wid! Ini yang membuat aku tidak bisa jauh dari kamu. Ini yang membuat aku sempat hancur belasan tahun yang lalu.
Saat aku mengetahui Widuri yang ingin ku miliki, telah pergi meninggalkanku. Kamu tidak akan pernah tahu Wid! Seperti apa yang aku lakukan bertahun-tahun saat sesekali mengikutimu di Bandung. Seandainya aku bisa memutarkan kisah itu untukmu, tentu kau akan merasa bersyukur bahwa dulu ada seorang Aditya Bima yang sangat mencintai Widurinya.
---
Bandung, 2004
Di tahun ke dua kami sekolah di Perguruan Tinggi
Ini adalah kali kedua aku ke Bandung untuk melihat Widuri dari jauh. Melihat dia yang mulai bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Melihat dia mulai berkawan dengan yang lain. Melihat dia sepertinya tak lagi membutuhkanku. Atau bisa jadi dia telah menghapusku dari benak dan hatinya. Saat itu aku berpikir, apakah Widuri setega itu? Apakah keakraban kami selama ini tidak berarti untuknya?